Rabu, 01 Oktober 2014

Mesjid Raya Baiturrahman Aceh


Mesjid Raya Baiturrahman Aceh/Tempo Dulu

Mesjid Raya Baiturrahman Aceh
1. Sejarah Pembangunan
Masjid Baiturrahman memiliki sejarah panjang. Memahami dengan baik sejarah masjid ini, berarti telah memahami sebagian sejarah perjalanan orang-orang Aceh.

Menurut riwayat, Masjid Baiturrahman dibangun ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Namun, masjid ini terbakar di masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678 M). Sebagai gantinya, kemudian dibangun masjid baru di lokasi yang sama.

Di era penjajahan kolonial Belanda, disamping berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai markas pertahanan rakyat Aceh dalam melawan kolonial Belanda. Fungsi masjid raya sebagai pusat perlawanan sangat jelas terutama di masa Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874 M). Ketika itu, Masjid Raya sering digunakan sebagai tempat musayawarah dalam menyusun strategi melawan Belanda.

Sebagai pusat perlawanan, maka, tak heran masjid ini selalu menjadi sasaran serangan Belanda. Pada 10 April 1873 M, masjid ini direbut oleh Belanda dan sebagian bangunannya mereka bakar. Pada 14 April 1873 M, kembali terjadi pertempuran sengit dan Masjid Raya berhasil direbut kembali oleh rakyat Aceh. Dalam pertempuran tersebut, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler ikut terbunuh bersama lebih 400 ratus pasukannya.

Akibat kekalahan tersebut, Belanda kemudian menyiapkan pasukan yang jauh lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. Pada 6 Januari 1874 M, kembali terjadi pertempuran sengit. Walaupun telah dipertahankan mati-matian, namun, akhirnya rakyat Aceh kalah dan masjid direbut oleh Belanda. Ternyata, Belanda tidak hanya merebut masjid, tapi juga membakarnya hingga rata dengan tanah, sehingga menambah kemarahan rakyat Aceh. Untuk membujuk dan meluluhkan hati rakyat Aceh yang marah pada kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Belanda, J. W. van Lansberge kemudian mengunjungi Aceh dan berjanji pada orang Aceh untuk membangun kembali sebuah masjid agung yang baru, pengganti masjid yang telah terbakar.

Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan pada 9 Oktober 1879 M oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembagunan masjid selesai dan secara resmi dibuka pada 27 Desember 1881 M.

2. Lokasi

Masjid Raya Baiturrahman terletak di tengah kota Banda Aceh. Dulu, kota ini bernama Kuta Raja.

3. Luas

Masjid Baiturrahman mampu menampung 1900 jamaah shalat.

4. Arsitektur

Arsitektur masjid bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri, sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas terbuka, sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.

Bagian pertama masjid adalah gerbang, posisinya menempel dengan unit utama. Setelah gerbang terdapat porch yang berbentuk segi empat panjang. Bagian depan, kiri dan kanan porch dikelilingi oleh tangga yang membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat kolom (tiang) langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Antara kolom satu dengan lainnya dihubungkan dengan plengkung patah model Persia. Karena ada empat kolom, maka berarti terdapat tiga plengkung. Pada bagian atas dan sisi plengkung terdapat hiasan relief lengkung-legkung seperti corak Arabesque. Di atas ketiga plengkung ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah klasik Belanda. Pada setiap jenjang dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup, yang dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa ekletik Masjid Raya ini. Sisi kiri dan kanan porch mempunyai dua kolom yang dihubungkan oleh satu plengkung, dekorasinya sama dengan porch bagian depan.

Setelah melewati porch, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi plengkung dan kolom yang sama dengan bagian depan. Plengkung tersebut tanpa pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India. Bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi oleh kubah utama yang indah dan megah bercorak bawang, pucuknya dihiasi cunduk, seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi delapan, pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela, ambangnya plengkung patah. Pada bagian bawah terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar, sehingga bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis dua. Pada jendela yag terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.

5. Perencana

Arsitek yang merancang Masjid Raya Baiturrahman adalah seorang kapten zeni angkatan darat Belanda, de Bruijn. Untuk menentukan arsitektur masjid, ia berkonsultasi terlebih dulu dengan Snouck Hurgronje dan penghulu masjid Bandung.

6. Renovasi

Sebagaimana diceritakan di atas, Masjid Raya telah beberapa kali mengalami pembangunan kembali akibat terbakar ataupun dibakar Belanda. Masjid yang berdiri sekarang merupakan masjid yang dibangun Belanda, pengganti dari masjid raya yang telah mereka bakar dalam peperangan menaklukkan Aceh.

Masjid Raya yag dibangun Belanda ini, juga telah direnovasi beberapa kali. Antara tahun 1935 dan 1936 M, sayap kiri dan kanan atapnya ditambah dengan kubah, sehingga jumlahnya menjadi tiga.

Kemudian, pada tahun 1957, ada penambahan dua unit kembar, posisinya di ujung kiri (utara) dan kanan (selatan) dari sayap, masing-masing memiliki satu kubah. Dengan penambahan ini, jumlah kubah menjadi lima, sesuai dengan Pancasila. Namun, jika dilihat dari depan, konstruksi masjid masih tetap simetris.

Selanjutnya, juga dibuat dua buah minaret pada sudut barat-utara dan barat-selatan. Penampang minaret bersegi delapan, dengan bentuk atap sama dengan kubah utama di depan. Namun, satu catatan, penambahan ini tetap mengacu pada elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya di masjid ini, sehingga keaslian masjid tetap terjaga.

Di akhir tahun 1980-an, Masjid Baiturrahman direnovasi. Kemudian, pasca tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2005, masjid ini kembali direnovasi karena mengalami kerusakan, walaupun tidak terlalu parah.

www.historyofaceh.blogspot.com

Cakra Donya


Cakra Donya
Hampir semua masayrakat Aceh pasti tau tentang Loceng CakraDonya yang ada di Banda Aceh. Tapi tau kah kita siapa yang mengantarkan nya hingga sampe ke tanah aceh? Dari beberapa artikel lonceng ini diberikan oleh pemerintah China, adalah Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh dan (saya pikir) lebih hebat daripada Columbus yang terkenal itu sebagai perwakilan bangsa China pada saat itu, untuk menghadiahkan nya kepada Kerajaan Aceh.

Cheng Ho adalah seorang laksamana China yang hebat . Perjalannnya lebih jauh daripada Columbus, Vasco da Gamaa dan pelayar eropa lain yang mungkin lebih kita kenal. Beliau melakukan perjalanan antar benua 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun.

Tidak ada ekspansi dan imprealisasi yang dilakukannya seperti halnya pelayar-pelayar dari bangsa Eropa. Beliau hanya mempropaganda tentang kejayaan Dinasti Ming. Malah pernah membantu menumpas perompak di perairan Palembang.

Hal yang lebih membuat saya salut adalah, dia adalah seorang muslim yang taat dengan ajaran Islam. Kapal yang digunakan untuk berlayar, 5 kali lebih besar daripada kapal Columbus. Dalam kurun waktu 1405-1433 , pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai dan menghadiahi lonceng Cakra Donya kepada kerajaan Aceh.

Sebagai sosok Muslim beliau perlu di contoh, jaman dahulu muslim sangat kuat dibanding bangsa Eropa, tapi banyak dari kita baru mengetahui, Pelayaran Columbus ternayta tidak lebih hebat dari seorang Laksamana Muslim Cheng Ho..

nb: attachments file, adalah perbandingan kapal Laksamana Cheng Ho dan Columbus

sumber:
http://www.chinapage.com/zhenghe.html
http://permai1.tripod.com/chengho.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Galeri_Laksamana_Cheng_Ho
http://historyofaceh.blogspot.com/2008/11/dibalik-sejarah-lonceng-cakra-donya.html

Gajah Puteh - Gajah Putih

M. Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul "Gadjah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang "Riwajat asal usul wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh" yang berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo. Tulis*an tersebut bersumber dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.Menurut Junus Djamil di sekitar tahun 1025 di daerah Gayo telah berdiri Kerajaan Linge pertama yang dipimpin oleh seorang raja yang namanya "Kik Betul" atau "Kawee Teupat" menurut sebutan orang Aceh, pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berclaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.Baru 500 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal sebagai Raja Linge ke XIII. Raja Linge ke XIII terkenal, karena selain ke*dudukannya di Tanah Gayo, juga mempunyai kedudukan penting di pusat Kerajaan Aceh dan di dalam Pemerintah Kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.Ketika Portugis menyerang dan merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera, sedang keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh telah ikut membantu Raja Malaka tersebut. Hubungan kerja sama ini telah berkembang demikian rupa hingga terjadi pula suatu perkawinan yang dapat dikatakan sebagai per*kawinan politik antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Seorang putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh yaitu Raja Linge ke XIII.Raja Linge ke XIII juga duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb), sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru. Karena keduduk*annya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua men*jadi Raja Linge XIV di Tanah Gayo.Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru yang di*pimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dan dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di camping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor telah menugaskan kepada Raja Linge XIII untuk membangun sebuah pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor. Pulau tersebut kemudian terkenal dengan "Pulau Lingga".Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga ini dia mem*peroleh dua orang anak lelaki, seorang di antaranya bernama"Bener Merie" dan seorang lagi adiknya bernama "Sengeda".. Di Pulau Lingga inilah kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia.

Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan mem*bawa kedua anaknya yang masih kecil Bener Merie dan Sengeda. Ketika kedua-duanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.Demikianlah Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo untuk menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV. Tetapi malang nasib mereka, karena kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV, malahan mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua -duanya dijatuhi hukuman mati. Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Aceh Alaidin Ria'yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571.Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari "gajah putih" yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya. Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya.Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperin*tahkannya untuk dibunuh.Pada upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan ternyata gagal, karena gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasa*nya jinak telah berobah menjadi berang dan ganas, mengejar-ngejar Raja Linge XIV yang hampir-hampir tewas.

Akhirnya Sengeda yang dapat menjinakkan gajah putih tersebut, dan menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Semua yang hadir menjadi tercengang-cengang, Sultan menanyakan peristiwa yang aneh itu. Sengeda terpaksa membongkar rahasia kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie.Mendengar keterangan Sengeda ini, Sultan sangat murka, dan segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian di*majukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi ber*untung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya diperingan sekedar diturunkan pangkatnya dan membayar diet atau semacam denda.Segera setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu.Kisah atau legenda lain mengenai peristiwa "gajah putih" dan kisah "Sengeda" adalah berdasar versi yang ditulis oleh seorang penyair Gayo yaitu Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenal Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hampir sama, tetapi isinya jauh berbeda.

Perbedaan terpenting antaranya adalah menurut tulisan M. Junus Djamil kisah "gajah putih" dan Sengeda tersebut berhu*bungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan dalam kisah dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut ber*hubungan dengan pembentukan "Kejurun Bukit" di Gayo Laut. Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya. (PERANG GAYO ALAS MELAWAN KOLONIALIS BELANDA, 1983, M.H.GAYO )

www.historyofaceh.blogspot.com

Penghianatan Panglima Tibang

Ia datang sebagai pesulap yang mampu menarik simpati kalangan istana kerajaan Aceh. Karena kepiawannya ia dipercayakah sebagai syahbandar. Guna menghadapi serangan Belanda, ia diutus untuk melakukan perjalanan diplomasi ke luar negeri. Tapi di luar negeri ia balik menyerang Aceh bersama Belanda. Seumur masa ia dicap pengkhianat.

Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.

Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.




Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.

Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun informasi itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda. Memahami akibat yang lebih jauh andaikata perjanjian antara Aceh dengan Amerika dan Italia terwujud, maka Belanda pun mendahuluinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon, pada Pertengahan Februari 1873 pun mengirimkan armadanya ke Aceh. Apalagi setelah Belanda mendapat informasi bahwa armada Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat dari Hongkong menuju Aceh pada Maret 1873.

Menghadapi situasi seperti itu, para diplomat Aceh di Pulau Penang, Malaysia pun membentuk Dewan Delapan, yang terdiri dari empat orang bangsawan Aceh, dua orang Arab dan dua orang keling kelahiran Pulau Pinang. Dewan Delapan tersebut bertindak mewakili kepentingan Aceh di luar negeri. Di antaranya, menjalin diplomasi dengan negara-negara asing, mencari perbekalan perang dan mengangkutnya ke Aceh dengan menembus blokade angkatan laut Belanda yang sudah menguasai Selat Malaka.

Akhirnya pada Rabu 26 Maret 1873, bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen, yang berlabuh antara Pulau Sabang dan daratan Aceh, Belanda menyatakan maklumat perangnya dengan Aceh, karena Aceh menolak mengakui kedaulatan Belanda. Maklumat perang itu diumumkan oleh Komisaris Pemerintah, merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N Nieuwenhuijzen.

Tindak lanjut dari maklumat perang tersebut, pada Senin 6 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, dengan kekuatan enam kapal perang, dua kapal angkutan laut, lima barkas, delapan kapal peronda, satu kapal komado, dan lima kapal layar, melakukan pendaratan di Pante Ceureumen, yang disambut dengan perlawanan rakyat Aceh. Maka perang pun berkecamuk.

Tak tanggung-tanggung, dalam agresi pertama itu, Belanda mengerahkan 168 perwira, 3.198 pasukan, 31 ekor perwira berkuda, 149 pasukan berkuda, 1.000 orang pekerja paksa, 50 orang mandor, 220 orang wanita, 300 orang pelayan. Perang dengan Belanda pun terus berlanjut.

Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.

Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh. ***

Referensi:

1. Prof. Dr Aboe Bakar Atjeh, dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” Panitia PKA II, Agustus 1972

2. M Nur El Ibrahimi dalam “Selayang Pandang Diplomasi Kerajaan Aceh”

http://www.historyofaceh.blogspot.com

Cerita Aceh - Bireuen, Peusangan dan Malem Diwa

Sebagai sebuah kabupaten, Bireuen memiliki babatan sejarah tersendiri yang melekat dengan Kabupaten Aceh Utara, sebagai awal induk daerah tersebut. Peusangan sebagai bagian dari Bireuen juga memiliki kisah tersendiri, salah satunya Malem Diwa yang sudah melegenda.

Bireuen boleh dibilang sebagai kabupaten yang tergolong masih muda di Aceh. Ia baru menjadi daerah pemerintahan defenitif tingkat dua pada tahun 1999. Sebelum itu, Bireuen merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Utara. Sejarah Aceh Utara sendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.

Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident.

Salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie Jaya. Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen, Onder Afdeeling Lhokseumawe, Onder Afdeeling Lhoksukon Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi.

Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu : Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan, Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan, Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan. Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07/SK/11/ Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan.

Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen. Peusangan dan Malem Diwa Peran Peusangan dalam pergerakan dan perubahan di Indonesia juga tidak boleh dinafikan yaitu pada tanggal 5 Mei 1939 diadakan rapat di sebuah gedung yang sekarang dikenal dengan Universitas Almuslim oleh sekelompok ulama-ulama yang ada di Aceh, yang kemudian lahirlah Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syiar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syiar Islam dalam masyarakat.

Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI. Menceritakan Negeri Peusangan ingatan kita tidak terlepas dari romatika sejarah hikayat Malem Diwa, dan hubungannya dengan ”Negeri di Atas Angin” atau negeri ”Antara”. Mungkin kalau sekarang termasuk wilayah Tanah Gayo Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon. Kata "Antara" ini mungkin bisa diartikan letaknya di antara kedua kabupaten Tanah Gayo ini. Tetapi, di Aceh, Tanah Gayo Kabupaten Aceh Tengah juga sering disebut sebagai negeri "Antara" atau "Negeri di Atas Angin".

Nama ini erat kaitannya dengan legenda rakyat Aceh Tengah, Malem Diwa yang mengisahkan tentang percintaan Malem Diwa dengan Putroe Bunsu (Peteri Bensu/(Putri Bungsu) yakni seorang bidadari yang nyasar ke Kerajaan Antara dan sayapnya untuk terbang disembunyikan Malem Diwa yang jatuh cinta kepadanya. Kisah Malem Diwa dan Putroe Bunsu adalah kisah cinta abadi tiada taranya. Indah dan penuh dengan pengalaman suka duka serta rintangan berat yang hampir saja berakhir karena ayah dan ibu Putroe Bunsu berupaya mengembalikan anaknya ke Kerajaannya di langit. "Negeri Antara" dalam legenda Malem Diwa rakyat Aceh Tengah berada di sebuah gunung di atas Danau Laut Tawar.

Malem Diwa adalah putra seorang Raja Peusangan yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Bireuen. Malem Diwa sedang mandi di sungai dan tiba-tiba ia mendapatkan sehelai rambut panjang hanyut di sungai. Dan ia menelusuri Sungai Krueng Peusangan untuk mencari pemilik rambut yang ternyata adalah milik Putroe Bunsu. Kisah itu entah benar atau sekedar mitos, yang pasti hikayat tersebut sudah melagenda di dalam kultur masyarakat Peusangan, tetapi hampir setiap orang Peusangan meyakini tentang kebenaran hikayat tersebut. Sampai-sampai dulu dikisahkan oleh beberapa orang tua yang ada di Peusangan setiap orang yang ingin menutur atau menceritakan tentang hikayat Malem Diwa terlebih dahulu harus mengadakan kenduri untuk anak yatim. Yang paling terkenal dan ahli dalam hal menceritakan hikayat Malem Diwa ini adalah almarhum Tgk. Adnan PMTOH, konon kabarnya seniman tutur ini dalam menceritakan hikayat Malem Diwa bisa memakan waktu tiga malam pertunjukan yang dihadiri oleh masyarakat.

Walaupun hikayat Malem Diwa ini menurut beberapa orang hanya sekedar mitos, tapi masyarakat sangat meyakini itu adalah cerita yang benar-benar terjadi, sehingga di daerah Awe Geutah yang terletak kurang lebih 10 kilometer arah selatan Kota Matangglumpangdua sebagai ibukota Kecamatan Peusangan, sampai sekarang orang meyakini ada tupai peliharaan Malem Diwa, orang-orang di sana menyebutnya ”Tupai Teungku Malem”. Menurut cerita turun temurun, dahulu semasa Ampon Chiek Peusangan masih ada setiap penduduk diwajibkan untuk menanam pohon buah-buahan di depan rumahnya, terutama giri (jeruk bali), sehingga tidak heran sampai sekarang jeruk bali telah menjadi komoditas khas. Buah ini hanya terdapat di Matang, ibu kota Kecamatan Peusangan yang berjarak 10 kilometer dari Bireuen arah ke Medan.

www.iskandarnorman.blogspot.com

Cerita Aceh - Nurul 'Ala

PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.

Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.

Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.

Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.

Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.

Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:

Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya

Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera

Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya

Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.

Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.

Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.

Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.

Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.

Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.

Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.

Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.

Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.

Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.

Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.

Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.

Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.

Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.

Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.

Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.

Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.

Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan

Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.

Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.

Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.

Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.

Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.

Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.

Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.

Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bungeh


PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.

Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.

Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.

Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.

Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.

Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:

Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya

Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera

Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya

Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.

Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.

Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.

Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.

Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.

Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.

Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.

Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.

Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.

Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.

Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.

Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.

Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.

Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.

Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.

Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.

Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.

Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan

Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.

Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.

Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.

Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.

Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.

Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.

Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.

Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bunge.

www.acehkreasi.blogspot.com

Cerita Aceh - Cerita Putroe Bungsu

Alkisah seorang laki-laki yang luar biasa bernama Malem Diwa, ia dilahirkan di negeri Piyadah sebagai anak satu-satunya dari almarhum Raja Tampok dan Putroe Sibawa. Umur tujuh tahun Malem Diwa meninggalkan Piyadah berangkat menuju tempat pengajian besar di Awee Geutah (Aceh Utara). Di sini namanya diganti oleh Teungku Chik Awee Geutah menjadi Malem Diwa. Di sini juga ia berkenalan akrab dengan putri Teungku Chik Awee Geutah yang bernama Putroe Zalikha.Belum sempat menikah dengan Putroe Zalikha, Malem Diwa lebih dahulu meninggalkan Awee Geutah menuju hulu sungai Peusangan mengikuti tempat asal rambut yang ditemuinya pada saat mandi di sungai.

Di hulu sungai/gunung ia mendapati kolam tempat mandi Putroe Bungsu beserta saudara-saudaranya yang turun dari negeri Indera (kayangan). di sini ia berhasil mencuri pakaian terbang Putroe Bungsu sehingga kemudian ia dapat mengawininya.

Dari sini cerita berlanjut tentang kehidupan dan pengembaran Malem Diwa, antara lain: Hidup bersama Putroe Bungsu di Piyadah, Putroe Bungsu kembali ke negeri Indera setelah berhasil mendapat pakaian terbang kembali, Malem Diwa mempersunting Putroe Haloh untuk mendapat kenderaan Burak guna terbang menyusul Putroe Bungsu di Indera, Malem Diwa berkumpul kembali dengan Putroe Bungsu dan anaknya Banda Ahmad di Indera, Malem Diwa kawin dengan Putroe Meureundan Dewi setelah membunuh burung Geureuda, penculikan Putroe Haloh oleh Raja Cina dan penculikan Putroe Meureundan Dewi oleh Raja Jawa, peperangan melawan Raja Jawa dan Raja Cina, dan Malem Diwa dapat menyelamatkan semuanya serta kembali ke Peusangan (Awee Geutah) untuk selamatan. Penutup cerita ini tentang perkawinan Banta Ahmad dengan Bangsawan negeri Indera.

www.acehkreasi.blogspot.com

Cerita Aceh - Asal Mula Nama Aceh

Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.

http://www.galeriabiee.wordpress.com

Cerita Aceh - Amat Rhang Manyang

Dikampung Pasie, berdekatan dengan Paya Senara daerah Krueng Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada zaman dahulu, berdiamlah di tempat tersebut satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan seorang anaknya laki-laki bernama Amat. Amat, sering juga di panggil ” Agam ” ( Dalam Istiadat Aceh, panggilan Agam adalah untuk seorang anak laki-laki maupun perempuan di panggil Inong).

Keluarga ini tergolong miskin. Pekerjaan sehari-hari adalah mengolah sabut dan garam. kulit kelapa yang umunya dibuang orang, mereka kumpulkan, lalu direndamkan dalam lumpur. Setelah beberapa lama, rendaman itu diangkat, di bersihkan. Isinya yang sedikit membusuk dibuang sehingga tinggal seratnya saja. Serta ini diolah atau dipintal menjadi jenis tali sabut.  Untuk memasak, mereka menggunakan kulit kelapa, pelepah dan daunnya sebagai kayu api. Sedangkan bagi orang kaya semua itu dibuang atau tidak dibutuhkan dalam kebutuhan mereka, cuma dibutuhkan untuk api unggun dalam kandang lembu mereka untuk mengusir nyamuk dalam kandang.

Disamping itu mereka membuat garam, karena kampung pasie (Pasir) itu terletak di tepi pantai. hasil dari kedua mereka inilah yang mereka jual untuk mendapatkan nafkah hidup sehari-hari yang masih jauh memadai. Kasih sayang kedua orangtua si amat tercurah kepadanya, sebab ia anak tunggal satu-satunya. Mereka ingin memberikan kecukupan untuk anak mereka, sebagaimana kebanyakan anak-anak orang lain. Tetapi, hendak dikata, maksud hati memeluk gunung apa apa daya tangan tak sampai.

berbagai usaha lain sudah dicoba oleh bapak si amat untuk mendapatka kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, tetapi tetap mengalami kekecewan. mungkin karena mereka tak memiliki modal apapun kecuali tenaga dan kemauan. Dalam keadaan seperti ini, orang tuanya selalu berpasrah diri kepada Allah, mepertebal keimana dan taqwanya. Setiap selesai shalat, mereka selalu berdoa setidaknya kepada anaknya, Amat, kelak Allah dapat memberikan kehidupan yang lebih layak, sehingga dapat dijadikan payng saat hujan, kayu rimbun tempat berteduh bagi mereka di hari tua.

Keberuntungan tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak pada ketiak amat berumur lima tahun, meninggalah bapaknya. “Patah dahan tempat berjuntai, rubuhlah cabang tempat bergayut”. Tinggalah si amat dan ibunya.  betapa sedih ibunya si amat tak terperihkan lagi. Cita-cita dahulu yang di impikan akan di jangkau oleh dua pasang tangan, ia dan suaminya sekarang hanya dirinya sendiri. Dan sampai dimanakah kemampuan seorang wanita sendiri hidup ditinggali seorang kekasih yang ia cintai.

bapak si amat tidak meninggalkan warisan sekalipun kecuali gubuk tiris beserta anaknya si amatyang perutnya setiap hari minta di isi. Kemudian segumpal cita-cita dan doa untuk kebahagiaan mereka dikemudian hari. Di penghujung tangis yang berkepanjangan karena iman dan taqwa, timbul kembali kesadaran yang sempurna, bahwa sema itu adalah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa. Bulatlah tekat dan cita-cita tidak boleh pudar dan tetap berusaha dengan kemampuan yang ada.

Amat di serahkan kepada Teungku Meunasah untuk belajar mengaji bersama anak-anak yang lainnya dikampung tersebut. Pada dasarnya, ia anak yang rajin dan pandai, Serta cepat untuk dapat menerima pelajaran pengajian yang diberikan. Sering amat dicemoohkaholeh teman-temannya karena pakaiannya compang-camping penuh tambalan, sambil menangis ia pulang ke rumah. Ibunya mengetahui semua ini. Pada kejadian yang demikian ibunya berusaha untuk tersenyum (Terseyum adalah sbagian dari iman” Allah memeberikan senyuman kepada wajah agar tidak dapat mengobati sedih”), memeluk dan mengusap air mata anaknya. kadang-kadang setiap saat mendongengkan sesuatu yang maksudnya perbuatan seperti itu adalah tidak baik yang akhirnya mendapatkan balasan yang tidak baik pula berupa balasan dari Allah. Menjelang tidur malam hari, sering pula ibunya menceritakan dongeng sejenis itu. Diantaranya dongeng anak durhaka yang pada akhir ceritanya dapat malapetaka.

Semua cerita itu diharapkan ibunya, aar dihayati si amat sebagai contoh bahwa perilaku yang baik tidak bergantung terhadap pakaian ang baik atau buruk. Kehidupan yang kaya atau miskin tetapi ungkapan jiwa yang ikhlas dan mulia disisi Allah.

setelah cerita biasanya, amat segera lelap. Namun, dibalik itu semua, hati ibu si amat  sering tergoyah oleh penghayatannya sendiri. Lalu timbul keragu-raguan apakah anaknya menjadi orang yang baik-baik ataukah menjadi orang yang mengecewakan harapannya. Pertanyaan terakhir yang tak diucapkan ini lebih banyak menghantui dan mengkawatirkannya. Akan bagaimana jadinya nanti hidup sesudah melarat , anakmembuat ulah pula. Mulailah air matanya menitik satu per-satu bagai manik-manik putus karangan. tidak lama kemudia ia dapat menguasai dirinya kembali dan keluarlah ucapan berbisik ” Na’idzubillah min dzalik”  maksudnya ” kami berlindung Kepada Allah dari hal-hal yang buruk”. Namun semuanya menjadi biasa kembali, iapun lelap seperti anaknya.

Dari hari ke hari, dari tahun ketahun amat menjadi remaja. ia membantu ibunya sekedar dengan tnagana yang ada padanya. Tapi kehidupan tidak banyak berubah, masih tergolong iskin dan melarat.

kruen raya adqalah sebuah sungai. dimuaranya pada masa itu terdapat sebuah pelabuhan samudera atau pelabuhan besar , merupakan sebuah pelabuhan tempat mengirikan barang  dengan hasil daerah aceh ke luar negeri. Dan sebaiknya tempat memasukkan barang-barang dagangan dari luar neeri untuk kebutuhan rakyat. Armada dagang Aceh sudah cukup besar pada masa itu. setiap hari kapal berlabuh dan bertolak terdiri dari kapal-kapal aceh sendiri dan kapal-kapal luar negeri. Hiruk pikuk dan ramai sekali ada yang sedang membongkar dan ada pula yang sedang memuat barang-barang dagangan. Beratus-ratus peti dikeluarkan dari kapal, beratus-ratus peti pula yang di isikan ke kapal. Ada kapal besar, ada juga kapal yang kecil.  Diantaranya ada yang bentuk kapalnya indah, haluannya mencuat dan berakhir.

menjelang saat bertolak saat berpuluh-puluh mendayung pada kedua sisi kapal. Dayung-dayung inilah yang digerakkan dari dalam sisi kapal oleh awak-awak kapal sebagai daya penggerak kapal untuk melaju meluncur membelah gelombang mengharungi samudera luas menuju pelabuhan negeri tujuan. lambaian tangan antar yang pergi dan yang tinggal sering mengharukan.  Entah kapan bertemu kembali, atau terkubur didasar laut diamuk topan dan badai.

Lambaian tangan bersambut pula saat berlabuh. entah paman, bapak atau saudara sendiri yang datang. Atau pula kekasih yang dirindukan. Gelak tawa dan cumbu saat jumpa seakan-akan mengatasi semua hiruk-pikuk di pelabuhan itu. nahkoda dengan pakaian yang besarnya di sertai pangkat di bahu kiri dan kanan kelihatan tampan dan megah. Kelasi-kelasi pakaiannya tampak tegap dan kuat. Berganti-ganti kapal ang datang dan pergi, berganti-ganti pula nahkoda dan kelasi-kelasi lalu lalang dan naik turun melalui dermaga pelabuhan. Semua mereka tapan dan gagah, tetap dan kuat.

hampir setia hari amat dan kawan-kawannya datang kedekat pelabuhan ini. Umumnya mereka sekedar melihat dan ingin mengetahui keadaan. Sesuatu yang mereka rasa aneh, mereka berbicara dan menceritakan kepada kawan-kawan yang lain dikampungnya, bahkan ada diantara mereka menceritakan kepada orang tua. Bebeda dari yang lain, amat ikut-ikutan juga bercerita, tetapi kiranya dengan diam-diam ia benar-benar menghayati semua yang dilihatnya dipelabuhan itu sejak dari kecil. dalam pikiran amat, nahkoda-nahkoda dan kelasi itu selain tampan dan gagah, tegap dan kuat, tentu juga mereka orang yang kaya. Setidak-tidaknya kehidupan mereka jauh lebih baik daripada kehidupan amat beserta ibunya.

Lalu lambat laun menyusup ke hati sanubarinya keinginan untuk menjadi nahkoda atau kelasi. jika keinginannya tercapai tentu kehidupan bersama ibunya akan berubah menjadi lebih baik. Keinginannya ini tidak pernah diceritakannya kepada siapapun. Kepada ibunya juga tidak.

Pada malam hari sering amat tidak dapat segera tertidur lelap. Bayangan dan keinginannya menjadi nahkoda atau kelasi selalu menggodanya. Ia akan mengharungi lautan luas. menjelajahi berbagai negeri. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-buan diperjalanan tentu ia akan pulang juda ke kampungnya. ia akan membawa oleh-oleh kesenangan ibunya, bahkan lebih dari itu. Ibunya akan menyambutnya dengan kasih mesra di ambang pintu. rumahnya tentu bukan lagi gubuk tiris, tetapi rumah batu besar yang kokoh. Angan-angannya demikian akhirnya kembali kepada alam sadar dan kenyataannya. bagaimana ia dapa mencapai iu semua ? sampai pikiran amat menjadi buntu, ibarat pemburu kehilangan jejak binatang buruan dan menyebabkan ia tak bisa tidur. bertahun-tahun ia diombang-ambingkan antara kenyataan dan cita-cita. lebih-lebih kalau siangnya amat bersama kawan-kawannya sebagaimana biasanya berkunjung ke dekat pelabuhan. Malamnya pasti cita-cita dan kenyataan itu menghambat tidurnya.

Menjelang suatu senja hujan turun samapi larut malam, amat tidak dapat pergi ke meunasah mengaji atau tidur disana sebagaimana seperti biasanya. Tidur di meunasah bagi anak-anak remaja dan pemuda-pemuda sekampung adalah sudah menjadi adat istiadat di Aceh sejak zaman sebelumnya.

Malam itu amat tidur di rumah. Matanya belum juga terpicing, kendatipun malam telah larut dan badannya terbaring. Pikirannya di amuk lagi oleh cita-citanya dan kenyataan entah berapa kali sudah kejadian demikian, ia tidak dapat menghitungnya lagi. Tanpa disadari amat sedang memperhatikan wajah ibunya yang sedang tertidur pulas. Nafasnya berat satu-satu, menandakan kerja keras siang harinya. Keningnya sudah mulai berkerut, pipinya sudah mulai cekung mendahului umur yang sebelumnya.

Teringatlah Amat, dahulu semasa kanak-kanak dialah yang lebih dahulu tidur diantar oleh dongeng dari ibunya. Malam ini sebaliknya. Amat menyusuri kembali jejak-jejak masa silam, bapaknya yang sudah meninggal kehidupan keluarganya yang melarat serta bermacam-macam dongeng yang didengarnya. Tiba-tiba Amat tersenyum sendiri. Senyum manis dan gairah. Apakah yang mendorongnya berbuat demikian ? Entahlah. Sementara hanya Amat sendiri yang tahu. Tiada berapa lama kemudian ia pun tertidur lelap setelah berhenti hujan di luar. Pada suatu hari di pelabuhan lebih ramai dari biasa. Berapa kapal
sekaligus membuang sauh. Awak-awak kapal turun ke darat menambah hiruk-pikuknya suasana di pelabuhan saat itu. Amat sudah sejak pagi berada di luar pelabuhan. Dari agak jauh ia memperhatikan keadaan. Memang akhir-akhir ini Amat sering sendirian datang. Kawan-kawannya kadang-kadang lebih suka adu layang-layang (Geulayang temang) di sawah atau belajar bermain geude-geude (gulat Aceh) di pasir pantai atau bermain sepak bola di halaman kampung. Kadang-kadang mereka berbondong-bondong ke suatu petak sawah kering dan luas menyaksikan peupak leume (adu sapi) antara sapi dari satu kampung dengan sapi kampung lain. Semua ini tidak lagi menarik perhatian Amat. Hatinya sudah lebih banyak bertaut dengan pelabuhan.

Hari itu juga Amat berusaha dan memberanikan diri menemui seorang pegawai pelabuhan, orang kampungnya sendiri yang ia kenal baik hati. Nama orang itu Kamil, tetapi sehari-hari orang lebih kenal dengan panggilan Pak Agam. Kebetulan Pak Agam keluar daerah pelabuhan hendak sembahyang dhuhur di mesjid tidak jauh dari pelabuhan. Keadaan di pelabuhan agak sepi. Pekerja-pekerjanya sebahagian besar sedang istirahat dan makan siang. Diantaranya ada yang sedang melaksanakan shalat dhuhur juga.

Amat menghampiri Pak Agam dengan hati berdebar dan ragu-ragu. Dengan sikap hormat disapanya : ,j°ak , Pak Agam !” Langkah Pak Agam tertegun, sambil menoleh ke arah datangnya panggilan itu. “Kau Amat, ada apa nak ?” Amat lebih mendekat. Hampir seperti berbisik seakan-akan gagap Amat menyampaikan maksudnya. „A. . . . Anu Pak ! Sa. . . . Saya ingin ikut salah satu kapal itu”, sambil menunjuk ke pelabuhan dan menandakan kapal. ,,Ha, H a . . . . Ha! Pak Agam tertawa terbahak-bahak, „mana mungkin nak, tentu kamu tidak mampu membayar ongkos”. Karena mendapat layanan dalam percakapan itu, Amat menjadi lebih berani dan lancar mengeluarkan suaranya. “Maksud saya Pak, saya ingin bekerja pada kapal itu”. ,,Wah, umurmu masih terlalu muda nak. Menurut pikiran bapak, kamu belum mampu bekerja berat di kapal.” Amat terdiam, rasa kecewa merasak hatinya. “Bapak mau sembahyang dulu”, kata Pak Agam, lalu iapun meninggalkan Amat yang masih tegak terpaku.

Sejak saat itu Amat menjadi pemurung. Sudah jarang ia bersama kawan-kawannya. Dengan ibunya di rumah tidak lagi sebijak biasa. Sikapnya menjadi lamban. Dalam mengaji sering salah. Di hadapan kawan-kawannya ia berusaha berbuat seperti biasa, tetapi seperti dipaksakannya.
Teuku Meunasah gurunya mengaji, kawan-kawannya yang menaruh perhatian serta ibunya di rumah bertanya-tanya, mengapa Amat akhirakhir ini banyak berubah. Pertanyaan mereka kepada Amat selalu dijawabnya „tidak apa-apa, dengan senyum dipaksakan. Tidak seorangpun tahu sebab musabab kemurungan Amat, kecuali Pak Agam barangkali dan dirinya sendiri. Pada pikiran Amat, jika Pak Agam yang diyakininya baik hati itu tidak mau membantunya, apalagi orang lain. Kekecewaannya semakin mehdalam. Waktu tidur ia selalu gelisah.

Tiap hari tidak urung Amat datang ke dekat pelabuhan, sendirian. Kadang-kadang dari pagi sampai petang, seakan-akan ia lupa makan siang. Matanya selalu tertuju kepada kapal-kapal yang berlabuh dan
bertolak. Melihat sikap Amat sedemikian banyak kawan-kawannya dan orang sekampung menduga-duga apa yang sebenarnya yang dirindukan Amat. Tetapi akhirnya sampai juga kepada kesimpulan yang tidak pasti, karena tidak pernah terungkap dari mulut Amat sendiri. Pak Agampun tidak pernah menceritakan hal itu kepada orang lain. Diantara mereka ada merasa kasihan. Ingin membantu tetapi tidak tahu jalan. Sebahagian mengejek pula, menggelari Amat, si Pungguk merindukan bulan. Semua ejekan itu ditahankan, diterima dan ditelan oleh Amat sembari berdoa dan pasrah kepada Tuhan, semoga suatu ketika Tuhan akan memberikan jalan baginya. Amat tetap bersikap biasa terhadap mereka. Tidak ada tanda-tanda Amat memusuhi mereka yang mengejek itu. Kiranya Pak Agam selalu memperhatikan tingkah laku Amat sejak pertemuannya pertama. Pak Agam merasa kasihan jika anak semuda itu harus bekerja berat di kapal. Tetapi sebaliknya pula Pak Agam kagum sekali terhadap cita-citanya yang sudah demikian tinggi dalam usia semuda itu. Terbayang di benak Pak Agam kehidupan keluarga Amat sejak dulu. Apa lagi setelah Amat menjadi yatim serta ibunya tetap janda. Kehidupan keluarganya menjadi lebih sulit lagi. Kemudian menjalar pula pertimbangan, bahwa permintaan anak itu justru permulaan satu usaha mencoba memperbaiki kehidupan beserta ibunya. Usaha karena tanggung jawab yang luhur terhadap kebahagiaan ibunya di kemudian hari. Diam-diam Pak Agam berusaha memenuhi keinginan Amat. Kesangsiannya yang utama kalau tidak ada nakhoda yang mau menerimanya, karena umur Amat masih terlalu muda.

Suatu petang Amat dikejutkan oleh panggilan Pak Agam : “Mat, mari dulu !” Amat menghampiri Pak Agam setengah berlari. “Ikut Bapak !” ujarnya kemudian tanpa bicara lagi. Amat mengikut di belakang Pak Agam memasuki daerah pelabuhan. Jalannya Amat kaku. Maklumlah Amat jarang sekali memasuki daerah itu. Takut diusir orang yang menganggapnya pengemis, karena pakaiannya compang camping. Kali ini karena diajak dan bersama Pak Agam ia turuti juga. Amat diperkenalkan oleh Pak Agam kepada seorang nakhoda yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang temannya dalam sebuah kamar di kantor pelabuhan. Dengan langkah tertegun-tegun dan muka sedikit pucat Amat memasuki ruangan itu. Orang-orang di luar kantor memperhatikan Amat masuk dengan penuh tanda tanya.

“Inilah anak yang kumaksudkan kemarin, kata Pak Agam memulai pembicaraannya.”

” Hm”, sambil mendesis nakhoda memperhatikan Amat dari ujung rambut sampai ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang.

Nakhoda menilai, dari raut muka Amat adalah anak baik, jujur dan keras hati. Perawakannya cukup tampan. Amat merasa malu, kepalanya menunduk. Sebetulnya Amat tidak takut, tetapi merasa rendah diri karena keadaannya yang demikian itu. Kemudian terjadilah tanya jawab dan percakapan antara nakhoda, Amat dan Pak Agam, yang pada pokoknya berkisar pada kehidupan keluarga Amat beserta ibunya sampai kepada keinginannya bekerja di kapal. „Kalau maksudmu benar-benar hendak membantu ibumu aku bersedia menerimamu bekerja di kapal. Dan kamu boleh turun ke darat, di daerah yang disinggahi kapalku, kata nakhoda menegaskan cita-cita Amat.

Seperti meiedak rasanya dada Amat, karena sangat gembira. Air matanya berlinang. Berkali-kali Amat mengucapkan terima kasih. Senyum Pak Agam seakan-akan tak habis-habisnya, rupanya iapun merasa sangat gembira dan bahagia usahanya membantu Amat berhasil. Sejak saat itu air muka Amat cukup cerah kembali. Sikapnya kembali seperti semula. Walaupun begitu kepada orang tua ia tetap hormat, kepada kawan-kawannya tetap ramah dan sayang kepada anak-anak yang lebih muda dari padanya. Berita tentang Amat akan merantau dari mulut ke mulut cepat tersebar dalam kampung. Barulah kawankawannya menyadari mengapa Amat selama ini murung saja. Diantaranya menyatakan Amat akan beruntung, orang tuanya tentu akan bahagia nanti.

Karena keberangkatan kapal tidak lama lagi, Amat segera menyampaikan halnya kepada ibunya. Ibunya terkejut sekali, mengapa selama ini tidak pernah diceritakannya. Ibunya membujuk agar Amat membatalkan maksudnya. ” Amat, anakku, betapakah ibu dapat melepasmu. Engkaulah anakku satu-satunya, tumpuan kasih selama hayat dikandung badan. Engkaulah tempatku bergantung di hari tua. Tidak ada sanak famili yang mau mengasuh ibu yang melarat ini !”

Sambil memeluk Amat ibunya menyampaikan keluhannya dengan kata tersendat-sendat dan air mata bercucuran. Amatpun demikian pula menangis sejadi-jadinya dan membiarkan ibunya berbicara terus. “Amat, bapakmu sudah lama meninggalkan kita. Hati ibu sangat bahagia, walaupun kita hidup dalam keadaan seperti ini.” Ungkapan kata hati ibunya putus sebentar. Hanya isak tangis yang terdengar. Amat berusaha menyadarkan dirinya yang sudah mulai hanyut ‘dalam arus kesedihan. ” Nah, jangan pergi nak, jangan nak”, ujar ibunya lagi dengan nada lemah resah.”

Tidak lama kemudian sebaliknya Amatpun mulai membujuk ibunya. “Bu, kanrena itulah aku pergi bu. Karena cinta kasihku kepada ibu. Aku tidak tega mengalami kehidupan begini sampai ibu tua. Aku ingin membahagiakan ibu. Bukan saja kebahagian dalam hati, tetapi kebahagian dalam kehidupan kita seluruhnya. Kembali sejenak, hanya isak tangis memenuhi ruangan gubuk tempat tinggal Amat bersama ibunya. “Bu! kata Amat kemudian. “Aku akan mencoba mengadu untung di perantauan, Aku akan berhemat dan membawanya pulang”. “Bu alangkah lebih bahagianya ibu dan aku sendiri, jika aku pulang nanti dapat menguntaikan sebuah kalung berharga di leher ibu, melekatkan cincin di jari ibu, gelang dan pakaian lainnya yang indah-indah.” “Bu, izinkanlah Amat pergi, hanya untuk sementara waktu. Aku pasti akan kembali jika nyawa masih di badan”.

Amat terus mendesak ibunva dengan buiukan. “Berilah doa restu, bu !” Semua kata-kata Amat yang’diucapkannya keluar dengan sadar dari hati nuraninya sendiri. Hati ibunya menjadi bimbang antara merelakan anaknya pergi dengan tidak. Jika tidak diizinkan, barangkali kebahagian hanya ada pada hati ibunya, belum tentu juga pada diri anaknya. Sebaliknya jika kebahagiaan anaknya direstui, terasa kekhawatiran, apakah anaknya Amat mampu menghadapi semua tantangan di negeri orang yang belum pernah dikenalnya. Apakah ia akan kembali dengan selamat, atau akan berkubur di antah berantah. Ibunya benar-benar ragu dan resah, lalu berdiri dengan lemah pergi ke dapur. Amat hanya mengikuti dengan pandangan mata redap diliputi kecewa. Lama baru Amat tegah dari simpunya, ia berusaha menghimpun semua kekuatannya untuk berpikir, menghambat diri dari keputusan. Jika ia tetap tinggal di kampung itu sia-sialah tekadnya pergi merantau selama ini dan hancurlah semua usaha Pak Agam yang telah membantunya. Amat merasa malu pada dirinya sendiri. Karena itu tekadnya pergi merantau bulat kembali. Amat mendekati ibunya yang sedang meniup api di dapur. Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditanak, karena makanan sudah masah sejak tadi. Perbuatan ibunya demikian hanya sekedar berusaha melerai gelisah. .”Bu, izinkanlah bu! Berilah kepadaku doa restu”, mohon Amat dengan suara lemah setengah berbisik. Ibunya seakan-akan tidak mengiraukan permohonan itu, hanya air matanya yang terus mengalir. Begitulah terjadi beberapa kali hampir seharian itu. Amat mengikuti ibunya kemana pergi dan selalu menyampaikan permohonannya yang serupa. “Tidak ada apa-apa yang kuminta dari ibu sebagai bekal, hanya izin ibu yang ikhlas serta doa restu, semoga kita tetap dalam kandungan Tuhan Yang Maha Esa.” Lama kelamaan lembut juga hati ibu si Amat, Lembut bukan karena bujukan anaknya, tetapi lembut karena kasihnya juga. Ia tidak ingin mengecewakan anaknya. Demikianlah kiranya hati seorang ibu, rela berkorban apapun demi kebahagian anaknya, apalagi anaknya Amat pergi untuk menjangkau cita-cita yang tinggi dan luhur. “Anakku, baiklah permintaanmu ibu kabulkan, ” Suatu pernyataan hati yang tulus, pendek dan sederhana. Tetapi bagi Amat seakan-akan jauh lebih besar dari gunung manapun, lebih tinggi dari langit ketujuh. Dipeluknya ibunya erat-erat, sebagai tanda gembira dan awal bahagia yang tak terungkapkan, disaksikan air mata keduanya yang lebih banyak dari sebelumnya. Bagi ibu Amat sendiri kiranya agak lain, air matanya sebagai pertanda awal penderitaan lebih parah, berpisah dengan anak, buah hatinya tersayang dan terkasih.

Mulailah dipersiapkan bekal untuk Amat. Beberapa potong pakaian bertambal yang menurut kadar ibu Amat masih baik dikumpulkan dan dibungkus. Beras segantang dan garam segenggam sebagaimana biasa bekal seorang pergi merantau tidak diperlukan Amat karena

ia akan mendapat makanan di kapal. Tersebar pula kembali kabar di kampung Pasie, bahwa Amat akan segera berangkat. Kawan-kawannya datang ke rumahnya atau dudukduduk berkelompok di bawah pohon kelapa di luar kampung berbincang- bincang tentang keberangkatan Amat dan kemungkinan nasib serta keberuntungannya di perantauan. Diantara mereka sambil bergurau berkata: “Mat, jika engkau beruntung menjadi orang kaya kelak, jangan lupa kepada kami ya!”. “Ah, mana mungkin Amat ingat kita lagi. Biasanya orang kaya lupa kepada orang miskain seperti kita i n i . ” kata yang lain pula. “Ha Ha ha !”, mereka semua tertawa. ” Betulkah begitu, Mat?” tanya yang lain pula. “Insya Allah tidak akan kulupakan kalian, jawab Amat.. “Justru aku pergi untuk kebahagian ibuku. Agar ia lebih berbahagia. Kalian kan tahu kehidupanku berserta ibuku sekarang lebih melarat dari kalian semua”, kata Amat menambahkan.

Kabar itu sampai pula ke kampung Paya Senara dan kampungkampung lain sekitarnya. Banyak orang memuji keberanian Amat dan kebaikan hati Pak Agam yang sudah membantunya. Didapatlah berita dari Pak Agam bahwa besok pagi kapal yang ditumpangi Amat akan bertolak menuju Sabang. Pak Agam menyuruh Amat mempersiapkan apa yang perlu. Hati Amat dag-dig-dug menerima berita itu.

Malam Harinya ibu Amat berusaha menenangkan perasaannya. Dinasehatinya Amat sebanyak-banyaknya. “Anakku, hanya nasehat itulah yang dapat ibu berikan sebagai bekalmu. Ingatlah bahwa nasehat itu jika diindahkan dan dilaksanakan mana yang perlu adalah sama dengan mukjizat. Jika tidak diindahkan dan tidak dilaksanakan akan menjadi sebilah pedang yang akan memotong leher sendiri. Camkanlah semua nasehat ibu itu”, kata ibu Amat.

Setelah berhenti sejenak ibu Amat bangun dari duduknya pergi kesebuah peti kayu tempat penyimpanan pakaian. Seketika ia duduk kembali mendekati anaknya sambil menggenggam sesuatu ditangannya.
“Anakku”, ujarnya kemudian sambil mengulurkan isi genggamannya. Bawalah rencong ini besertamu. Satu-satunya benda berharga milik bapakmu, warisan dari kakekmu. Rencong ini bukan untuk menyerang orang dalam perbuatan jahat, tetapi untuk membela dirimu terhadap siapapun yang dengku khianat kepadamu. Terimalah anakku!” Amat mengulurkan kedua tangannya dengan gemetar menerima benda itu. “Nasehat ibu akan kuingat dan kupatuhi selamanya” “jawab Amat singkat dan haru. Kiranya keduanya tak mampu lagi menahan air mata mereka, maka bercucuranlah keluar. Terompet kapal sudah berbunyi sekali, ketika Amat yang menyandang bungkusan beserta ibunya tiba di pelabuhan. Pak Agam dengan ramah menyongsong mereka. Ia memberi petunjuk kepada Amat bagaimana naik ke kapal dan memberi tahukan agar segera naik. TerjadÜah perpisahan yang tak tertuliskan betapa harunya antara Amat dengan ibunya. Terakhir kelihatan Amat memeluk kaki ibunya.
Terompet kedua , terompet ketiga berbunyi. Kapal perlahanlahan bergerak maju. Amat melambaikan tangannya dengan lesu dari geladak. Ibunya beserta Pak Agam membalasnya demikian juga dari dermaga. Dalam hati ibunya berdoa semoga anaknya lekas kembali. Sebenarnya nakhoda kapal itu tidak bermaksud memberikan pekerjaan yang berat kepada Amat. Ia tertarik kepada dita-cita Amat yang demikian luhur, lalu ingin membantunya. Di kapal pekerjaannya ringan saja dan bebas kesana kemari.

Pakaiannya digani seperti awak kapal lainnya. Kelihatan agak kebesaran sedikit karena memang Amat masih terlalu muda, umurnya padawaktu itu kira-kira lima belas tahun. Karena ramahnya cepat Amat dapat menyesuaikan diri dengan awak kapal lainnya. Semua mereka memanggil adik kepadanya, kecuali hanya nakhoda sendiri yang memanggilnya Amat. Sejak di kapal ia banyak ingin tahu tentang kapal itu. Sering ia
bertanya kepada awak-awak kapal lainnya, dimana tempat barang dan sebagainya, sampai-sampai ia menyanyakan nama nakhoda kapal tersebut. Tentang laut ia tidak begitu takjub, karena Amat sendiri
memang anak pantai. Sementara awak kapal dalam kesibukan, kadang-kadang Amat menyendiri. Terbayang kembali perpisahannya dengan ibunya, apa kiranya yang dikerjakan ibunya sekembalinya dari pelabuhan dan kapan ia akan kembali. Melihat semua tingkah laku Amat nakhoda menganggukanggukkan kepalanya, tandanya ia suka kepada Amat dengan kerajinan, dan keramahannya.
Tibalah kapal yang ditumpangi Amat ke Sabang sebuah pelabuhan dipulau Weh yang terletak diujung utara pulau Sumatera. Kapal berlabu Barang untuk Sabang diturunkan, kemudian ada pula yang dinaikan ke kapal. Waktu istirahat awak kapal boleh turun ke darat daerah pelabuhan. Amat sudah lebih leluasa dapat memperhatikan keadaan kesibukan- kesibukan di kapal dan di darat daerah pelabuhan itu sendiri. Amat menilai tidak banyak berbeda dengan pelabuhan di Krueng Raya dekat kampungnya. Pasie. Terompet pertama berbunyi tanda kapal akan segera bertolak. Tanda yang sudah dikenal Amat sejak ia kanak-kanak. Mnyusul terompet kedua dan ketiga. Kapal bergerak mengubah haluan ke arah selatan, ke pulau Pinang, yang kemudian disebut Penang saja. Betapa indahnya kala senja di tangan laut tanpa tepi, seakan-akan dunia ini hanya lautan belaka. Betapa indahnya haluan membelah ombak. Buih-buih kekuning emasan ditimpa rena senja. Ikan hiyu berbondong-bondong mengikuti kapal, kadang-kadang di haluan kadang-kadang diburitan. Ikan terbang sekali-sekali melayang di atas permukaan air. Demikian berhari-hari. Bagi Amat cukup mengasyikkan, karena perjalanan jauhnya yang pertama sekali. Lain halnya dengan awak kapal lainnya, baru sehari dalam perjalanan sudah rindu kepada pelabuhan yang dituju.

Kapal terus melaju, melaju tiada henti siang dan malam. Yang ditakuti adalah angin topan yang dengan mudah dapat mengombang-ambingkan kapal laksana sabut. Bila hal itu terjadi kecekatan dan ketrampilan awak kapal menurunkan layar sangat diperlukan. Juru mudi dengan penuh waspada mengendalikan kemudi. Hiruk pikuk dan teriakan komando berkumandang kemana-mana. Syukurlah hal seperti itu tidak terjadi kali ini, hanya cerita awak kapal yang sudah pernah mengalaminya kepada Amat. Kapal terus melaju, lagi-lagi melaju sampai suatu ketika kelihatan daratan sayup-sayup di kejauhan.

Pulau Pinang dengan Penangnya, salah satu kota pelabuhan besar diselat Malaka, ramai sekali. Perahu-perahu mundar-mandir diselesela kapal-kapal yang sedang berlabuh. Dermaganya kokoh kuat, gudang-gudang berderet teratur. Beberapa kapal sedang merapat membongkar dan memuat barang. Yang lainnya membuang jangkar agak jauh, menunggu giliran merapat, termasuk kapal yang ditumpangi Amat. Pada suatu kesempatan menjelang kapal merapat ke dermaga Aamat agak terkejut mendapat tepukan di kedua bahunya dari belakang. “Ah: kiranya nakhoda,” pikir Amat dalam hati. “Apakah kau senang dalam pelayaran tadi, Mat?” tegur nahkoda. “Senang sekali tuan dan pengalaman saya yang pertama, jawab Amat. “Di pelabuhan ini kita agak lama berhenti, karena keluarga tinggal di kota ini. Engkau sewaktu-waktu boleh turun melihat keadaan di pelabuhan dan kota.” “Terima kasih Tuan.”

“Tidak berapa lama sesudah itu kelihatan nahkoda turun dari kapal, diiringi oleh dua orang kelasi mejingjing kopernya. Dalam hati Amat merasa cemburu mengapa bukan dia yang disuruh Nahkoda mengiringkannya supaya ia tahu rumah nakhoda itu. Tetapi kemudian Amat menyadari bahwa tidak seluruhnya harus bergantung kepada pertolongan orang lain.  Amat berusaha membantu pekerjaan awak-awak kapal, kendatipun kepadanya tidak terlalu dituntut suatu keharusan. Sekali-sekali dipergunakannya waktunya melihat-lihat kota. Menurut ukurannya kota itu cukup besar. Bendi dan gerobak lembu merupakan alat angkut yang utama. Ada juga gerobak kecil yang ditarik orang. Umumnya merupakan alat angkut jarak dekat dan untuk barang-barang yang tidak terlalu berat. Bermacam-macam orang memenuhi jalan-jalan dan pasar dalam kota, Laki, perempuan dan anak-anak hilir mudik mrasing-masing dengan urusannya sendiri. Kebanyakan orang-orang itu perawakannya seperti Amat sendiri. Kemudian Amat tahu bahwa merekalah yang disebut orang Melayu. Ada yang disebut orang Barat, orang India, orang Keling, Cina dan sebagainya.

Amat tidak di kapal lagi. Permintaan Amat agar ia diizinkan tinggal di Penang dikabulkan oleh nakhoda. Nakhoda menepati janjinya dahulu bahwa Amat boleh turun dimana saja di tempat yang diinginkannya. Bahkan nakhoda yang baik itu menambah nasehat-nasehat dan Amat sangat berterima kasih atas semua kebaikannya. Sepeninggal kapal, Amat berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup nya dari hari ke hari. Lama-lama Amat menyadari bahwa di kota Penang yang dalam tanggapan Amat demikian aman dan tenang, dihuni oleh berbagai bangsa, kiranya tidak mudah mendapatkan pekerjaan, berbeda dengan dugaan Amat semula. Sudah berhari-hari Amat mencari pekerjaan apa saja yang mungkin dilakukannya, tetapi belum kunjung dapat. Pengalaman pahit pertama Amat dirantau orang.

Sebenarnya Amat adalah anak yang cerdas dan dapat dipercayai. Hal ini dapat dibaca pada porosnya dan sudah kelihatan pada waktu mengaji di kampungnya dahulu. Kiranya orang-orang sangsi memberikan pekerjaan kepada Amat, karena banyak pengalaman mereka memerima anak yang seperti itu, akhirnya menipu mereka dengan mencuri uang dan barang-barang berharga lalu lari dengan kapal keluar negeri. Apalagj Amat sering mamaki pakaian kelasinya Suatu hari Amat jadi nekad, tetapi dengan pikiran yang jujur. Ia memberanikan diri memasuki sebuah warung dan meminta sepiring nasi campur. Karena laparnya segera nasi itu dilahapnya. Dalam hati timbul rasa ngerinya. Bagaimanakah jadinya nanti, uang di kantong tidak ada sepeserpun. Apakah ia akan dipukuli karena tidak dapat membayar nasi yang dimakannya atau dibawa ke kantor polisi, kemudian dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan menipu? Ia berdoa kepada Tuhan semoga memberikan jalan baginya. Perbuatan itu dilakukannya karena terpaksa, karena laparnya tidak tertahankan lagi. Selesai makan dengan maksud baik, Amat segera menghadap orang pemilik warung, dan mengemukakan dengan sikap hormat, bahwa ia tidak dapat membayar yang dimakannya dengan uang, tetapi bersedia mengerjakan apa saja yang disuruhkan kepadanya. Mendengar pernyataan Amat penilik warung mengerutkan dahinya kemudian meledaklah marahnya, dengan melontarkan kata-kata penginaan dan pedas Amat menundukkan kepalanya, insyaf akan’perbuatan nekadnya. “Kuseret kau ke kantor polisi, penipu! bentak peninik warung lagi. Amat tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam hati ia merasakan apa yang tadi dibayangkannya akan terjadi, ia menyerah kepada keadaan Kiranya penilik warung berpikir pula. Apalah artinya harga sepiring nasi baginya dibandingkan dengan kebutuhan yang amat sangat bagi seseorang. Penilik warung ingin menguji kebenaran pengakuan Amat. Lalu katanya dengan nada suara yang jnenurun: “Kalu kau memang mau membayarnya dengan bekerja, baiklah. Mari ikut aku.” Pelayan yang lain terheran-heran, mengapa anak muda yang tadi disugukannya sepiring nasi, tiba-tiba saja sudah bekerja bersama mereka, mencuci piring. Amat mengetahui hal itu, tetapi ia tidak peduli, yang penting bagi Amat ia dapat membayar walaupun dengan tenaga. Amat berusaha bekerja dengan tekun dan sebaik-baiknya. Sudah berapa hari Amat bekerja diwarung itu dengan upah hanya sekedar dapat makan saja. Demikianpun bagi Amat sudah merasa syukur.

Suatu hari dirumah pemilik warung yang terletak dekat pinggiran kota, didepan keluarganya dan tamu tercetuslah cerita tentang Amat diwarung itu sebagai bahan kelakar. Keluarga pemilik warung beserta anak-anaknya tertawa terbahak-bahak dan tamunya tersenym-senyum begitu tuan rumah selesai dengan ceritahya. Mereka menganggap cerita itu lucu. “Sebenarnya aku tidak memerlukan tenaganya, pelayanku sudah cukup,” kata tuan rumah. “Tetapi aku kasihan, dari pada ia akan berbuat begitu juga di tempat lain, “tambahnya lagi. Kemudian tuan rumah menceritakan akan sejarah hidup Amat, sebagaimana pernah diceritakan Amat kepadanya.

Setelah berbincang-bincang sekian lama, tampaknya tamu mereka sudah ingin mengundurkan diri. Tetapi sebelum itu tamu tersebut meminta dengan nada bersungguh-sungguh, bahwa jika tuan rumah benar-benar tidak memerlukan Amat diwarungnya, orang itu bersedia memberikan pekerjaan kepada Amat sebagai tukang kebun dirumahnya. Amat berusaha secepat mungkin dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya yang baru. Rumah besar dan megah, yang dihuni oleh satu keluarga terdiri dari bapa, ibu berserta tiga orang anak yang masih kecil. Dua orang perempuan setengah umur sebagi pembantu dalam rumah dan dapur. Di belakang terletak kamar buat Amat. Di luarnya tergantung beberapa sangkar burung yang besar dan sebuah kandang anjing peliharaan. Semuanya jauh berbeda dengan lingkungan hidup di kampungnya Sendiri. Bagi Amat yang cukup cerdas itu suatu petunjuk pelaksanaan pekerjaan tidak perlu diulangi dua kali. Sekali saja diberitahu sudah mampumemahami dan mengerjakannya dengan tepat dan cepat.

Karena sifat Amat yang peramah , jujur, sopan santun, rajin dan baik hati segera ia mendapatkan tempat yang baik pula di hati semua penghuni rumah. Anak-anak sangat suka kepadanya. Anjing peliharaan itupun segera mendekat sambil meliuk-liukan badannya dan mengibas-ngibaskan ekornya seraya menggonggong kecil, jika melihat Amat. Satu-satu waktu sambil istirahat pada siang hari Amat membaringkan tubuhnnya diatas rumput empuk di bawah pohon rindang di halaman depan. . Saat-saat demikian ia ingat kembali masanya yang lampau. Ibunya, kawan-kawannya, Pak Agam, nakhoda sampai kepada saat ia berbaring itu. Betapa sukarnya ia mendapatkan sepiring nasi diwakrung pada beberapa bulan yang lalu, yang akhirnya seakan-akan ia diperjual belikan kepada tuannya yang sekarang. Semua itu ia tahankan dengan kesabaran. Teringat ia akan pesan ibunya “yang manis jangan segera ditelan yang pahit jangan segera dimuntahkan.” Selama sudah beberapa bulan itu hanya sekali-kali tuannya memberikan uang kepadanya. Dan hanya sekali-sekali pula Amat pergi ke pasar membeli keperluannya yang mungkin tidak terpikir oleh tuannya dengan uang sedikit yang diterimanya itu.

Bulan berganti terus sampai sudah hampir setahun Amat di rumah itu. Tuannya baru saja membeli sebuah perkebunan karet yang besar. Buruh kebun itu cukup banyak. Sejak itu karena tuannya kadangkadang sibuk mengatur pekerjaan buruh-buruh dikebun, Amat sering disuruh membantu pelayan lainnya di toko kain milik tuannya itu sendiri. Dengan demikian kenaïan dan pengalaman Amat cepat bertambah, Penilik warung yang dulu tetap diingat oleh Amat dan tetap baik terhadapnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebagai pelayan toko kain yang besar tentu saja pakaian Amat cukup baik, rapi dan bersih. Tampang Amat yang sekarang jauh berbeda dengan tampangnya yang dahulu. Cukup tampan dan gagah serasi dengan pakainnya sebagai orang kota. Namun demikian perilakunya tetap perilaku yang dulu juga, sopan, rajin dan jujur. Karena itu terus menerus mendapat kepercayaan dari tuannya. Sudah lama kiranya belum ada suatu pekerjaan tetap yang diberikan tuannya kepadanya, sampai pada suatu hari Amat disuruh pula memimpin pekerjaan buruh diperkebunan tuannya. Tugas memimpin pekerjaan buruh itu memerlukan kesungguhan dan ketekunan. Tuannya mengetahui hal ini. Karena itu sejak saat itu Amat hanya bertugas di perkebunan itu saja lagi. Hanya pada hari-hari libur Amat datang ke rumah tuannya, sedangkan pada hari-hari kerja ia tetap berada di perkebunan yang letaknya agak jauh di luar kota. Kedatangannya ke rumah itu sudah lebih banyak dianggap sebagai keluarga dari pada dulu sebagai pekerja meawat halaman dan tanaman. Anak-anak tuannya tetap ingat kepadanya dan selalu menyambut Amat dengan kemanjaan. Demikian juga anjing peliharaan tuannya berlari menyonsong Amat, jika melihat Amat datang. Semuanya seakan-akan meiepaskan rindu selama beberapa hari tak berjumpa. Sebagai pemimpin pekerjaan buruh Amat mempunyai hak dan kewajiban sama dengan buruh yang lain. Haknya mendapat upah dan kewajibannya bekerja. Setiap bulan Amat mendapat gaji tetap yang tertentu banyaknya. Amat berhemat dan menabung sebagjan besar dari gajinya. Ia selalu ingat janjinya kepada ibunya, bahwa sekembalinya dari perantauan ia akan menguntaikan kalung berharga di leher ibunya, menyelipkan cincin di jari ibunya, mengenakan pakaian yang indah di tubuh ibunya, dan sebagainya.

Hari berjalan terus, keuntungan tuannya berlipat ganda, dari toko dan dari perkebunan karetnya. Amat juga menghitung-hitung simpannannya, rupanya sudah agak banyak juga. Agar jumlah uang Amat cepat bertambah, ia mendapat akal dan terus banting tulang. Ia mencoba meniru perbuatan tuannya. Tentu saja caranya berbeda. Amat membeli sebuah kios dipinggiran kota agak ke dalam. Sore sehabis kerja di perkebunan sampai malam ia berjualan di kios tersebut. Kiosnya itu diisinya dengan barang-barang keperluan seharihari. Mulai dari garam, minyak, gula dan bumbu-bumbu masak sampai kepada barang-barang kelontong. Tetapi jumlahnya masing-masing terbatas menurut modalnya yang tersedia.

Persedian barangnya cepat ha bis, karena Amat sangat peramah dan pandai menarik hati pembeli. Kemudian cepat pula disinya kembali dengan berbelanja ke pasar besar. Sungguhpun begitu pekerjaannya sebagai buruh diperkebunan karet tidak pernah dilalaikannya. Dengan demikian keuntungannya cepat bertambah berlipat ganda pula. Keuntungan demi keuntungan ditabungnya, seperti lebah menghimpun madu, seperti semut menimbun busut. Hal ini diketahui oleh tuannya. Diam-diam tuannya merasa kagum, dan menjadi bahan cerita kembali di kalangan keluarga dan kenalankenalan tuannya. Sepuluh tahun sudah Amat merantau. Ibunya selalu diliputi pertanyaan, bagaimanakah dan dimanakah kiranya anak kesayangannya itu. Kepada orang-orang sekempungnya ibu itu menanyakan, kalau-kalau ada yang mendengar kabarnya, tetapi tidak seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang pasti. Jawaban orang-orang di pelabuhan juga tidak memuaskan hatinya. Jawaban yang diterimanya simpangsiur. Semua itu membuat hati ibunya resah dan gelisah, tetapi akhirnya ia berserah kepada Tuhan dan tetap mendoakan agar kepada anaknya Amat diberikan Tuhan perlindungan. Kehidupan ibu Amat tidak banyak berubah. Ia hanya berusaha sekedar dapat memenuhi kebu tuhan hidupnya sehari-hari, sesuap dua suap nasi. Tidak berusaha lebih dari pada itu.

Wajahnya sudah mulai keriput dimakan umur. Ditambah dengan rasa rindu yang belum tentu datang obatnya. Kalau diketahuinya ada kapal baru berlabuh, dipasangnya telinganya baik-baik, kalaukalau ia dapat mendengar berita tentang anaknya atau barangkali anaknya kembali dengan kapal itu. Kiranya Amat juga demikian. Saat-saat istirahat jauh dari kesibukan pekerjaan, ia terkenang kepada ibu tercinta yang ditinggalkan Rasa rindu menyelusuri seluruh tubuhnya. Sebenarnya untuk sekedar pulang ia sudah mampu mengongkosi dirinya, tetapi cita-citanya membisikkan belum waktunya ia kembali. Apalah artinya kalau hanya sekedar pulang tanpa membawa sesuatu yang berharga untuk kemudian hari. Dalam pada itu Amat bersyukur, bahwa selama ini rezekinya berlimpah. Amat sadar pula bahwa itu semua berkat doa ibunya sendiri. Kadangkadang dengan tidak disadarinya Amat berbisik sendiri: Sabarlah ibu tunggulah aku kembali.” Kiranya hubungan batin antara ibu itu dengan anaknya tetap terpaut. Kini Amat benar-benar dewasa. Dewasa umur dan dewasa pengetahuan yang dimatangkan oleh pengalaman penderitaannya. Pada suatu hari pemilik perkebunan karet tempat Amat bekerja dikejutkan oleh berita yang didengarnya di kota, bahwa Amat sudah membeli sebuah toko di kota itu. Orang itu ingin segera mengetahui kebenarannya dan memang benarlah demikian setalah didengar pengakuan Amat sendiri. Semula orang itu merasa rugi kehilangan Amat, satu-satunya tenaga yang sangat terampil di perkebunan karetnya. Amat tentu tidak akan dapat lagi membantunya, karena sibuk dengan tokonya yang baru. Karena kecerdasan Amat yang dianggap orang itu luar biasa, terpikir olehnya akan bekerja sama dengan Amat dalam hal dagang. Orang itu menyerankan kepada Amat supaya berdagang kain saja. Dan kebetulan sarannya itu sesuai dengan keinginan Amat yang sudah lama direncananakan. Kabar tentang Amat menggemparkan kawan-kawannya buruh diperkebunan karet milik tuannya, juga menggemparkan kenalankenalannya. Tak ketinggalan penilik warung. Semua mereka tidak menduga sama sekali bahwa Amat akan dapat menjadi orang kayadan secepat itu pula. Penilik warung tersenyum lucu sendiri, ketika di-ingat-ingatnya bagaimana Amat pada belasan tahun yang lalu makan di warungnyai tanpa uang sepeserpun. Kiranya Amat sedang dinaiki rezeki, dagangnya sangat laris. Pengalamannya menjadi pelayan di toko tuannya dulu sangat berharga bagainya dalam usaha memajukan tokonya. Disamping itu mendapat bimbingan yang perlu dari bekas tuannya. Amat mengambil kesimpulan dari semua pengalamannya yang sudah berlalu, bahwa modal pertama dan utama adalah kemauan yang keras “Dimana ada kemauan disitu ada jalan”. Sesudah ada kemauan yang keras perlu diiringi oleh kejujuran, sopan santun, baik hati, peramah dan sebagai kunci terakhir berdoa dan tagwa kepada Tuhan. Amat ingat semua nasehat ibunya, pengajaran gum mengajinya, nasehat orang tua-orang tua dikampungnya dan nakhoda kapal dahulu. Sebenarnya semua itulah yang mendorong Amat memberanikan diri dahulu mengambil keputusan pergi merantau. Amat yakin akan modal yang sudah didapat itu dengan mengamalkannya secara tulus ikhlas, bersungguh hati. Konon pula modal itu tidak berat membawanya; tidak perlu dijinjing atau dipikul. Semua itu sudah menjadi satu dengan dirinya sendiri dan sudah akan terbawa kemana saja ia pergi. Keyakinan Amat dahulu itu sudah menjadi kenyataan. Dengan itu ia sudah mendapatkan modal usaha berupa uang dan benda-benda berharga berlimpah. Hanya tinggal mengaturnya menurut kemauan. Sebagai lanjutan dari usahanya Amat membeli sebuah kapal dagang yang besar. Amat berusaha mempelajari seluk beluk kapal itu, bahkan ia sudah mampu menjadi nakhoda. Dengan demikian apa yang dicitacitakannya di kampung Pasie, tempat asalnya dahulu sudah terwujut, bukan lagi berupa impian belaka. Diam-diam dengan khidmad Amat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua orang yang pernah memberi nasehat dan membantunya sejak dahulu. Langkah, rezeki, pertemuan dan maut adalah di tangan Tuhan, kata orang orang zaman dahulu, empat serangkai ini pasti dilalui dan dialami oleh setiap manusia pada umumnya. Langkah Amat meninggalkan kampung halaman pergi merantau, dalam hal ini dapat dinilai sangat baik. Kemudian diikuti oleh rezeki yang berlimpah. Dua hal yang sudah pernah dilaluinya, maka tibalah hal ketiga, pertemuan.

Kiranya pertemuan Amat sudah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Tuhan bukan dengan orangnya sekampung sebagaimana lazimnya, tetapi dengan seorang gadis anak bangsawan di Pulau Pinang itu sendiri - Asam digunung garam dilaut bertemu dalam belanga. Pemuda Aceh dari kampung Pasie, gadis bangsawan di pulau Pinang bertemu dalam perjodohan. Gadis bangsawan ini selain sangat cantik berbudi baik pula. Benar-benar pasangan yang serasi lahir dan bathin.. Betapa meriahnya upacara persemian perkawinan sepasang insan ini, kiranya seorangpun tak akan mampu mengisahkannya dengan sempurna. Tujuh hari tujuh malam pesta pora. Selama itu Linto Baro (Pengantin lelaki) dan Dara Bare (Pengantin Perempuan), tidak sepi-sepinya mendapat kunjungan dan jabatan tangan ucapan selamat dan berbahagia dari semua handai tolan, kenalan serta sanak famili di Pulau Pinang. Saat-saat bersejarah demikian ini tidak dilewatkan begitu saja oleh sepasang Linto Baro dan Dara Baro ini. Mereka berbulan madu ke semua tempat-tempat hiburan dan tempat yang menyenangkan di pulau Pinang. Bahkan melawat kedaratan semenanjung Malaka. Dalam bermesra-mesraan keduanya sudah mulai berbincang-bincang dengan sikap saling manja terhadap kehidupannya dimasa yang akan datang. Mulai dari bakal rumah yang akan mereka tempati terlepas dari orang tua sampai kepada buah hati mereka berdua.
Amat sebagai Linto Baro sudah menempati rumah baru bersama isternyaSudah mulai kembali membuka usahanya. Dengan kapalnya sendiri kadang-kadang disertai isterinya. Usaha dagangnya mendapat sambutan baik dimana-mana, sekali gus mendatangkan keuntungan yang besar. Satu hal yang masih sangat merisaukan hati Amat sudah dua puluh tahun Amat merantau, meninggalkan ibunya di kampung Pasie Aceh. Berkali-kali Amat merencanakan kembali menjenguk ibunya, bahkan sejak Amat belum berumah tangga, tetapi tetap ada-ada saja hal yang menggagalkan.. Kiranya Tuhan belum mengizinkannya. Kini dirasakan takkan ada lagi yang menjadi penghambat. Semuanya sudah ada padanya. Kapalnya lebih dari mampu berlayar ke pelabuhan Krueng Raya di Aceh dekat kampungnya Pasie. Isterinya sudah berkali-kali menayakan soal orang tua Amat, tetapi Amat sendiri belum pernah memberikan keterangan yang lengkap. Hanya Amat berkata supaya isterinya bersabar, satu waktu kelak pasti berjumpa dengan’mertuanya.

Suatu ketika tibalah saat yang baik. Amat memutuskan untuk menjenguk sekali gus menjemput ibunya. Pada mulanya Amat bermaksud pergi sendiri, tetapi isterinya berkeinginan keras pula ikut bersama. Ingin segera berjumpa dengan mertuanya dan ingin melihat dari dekat kampung halaman tempat tumpah darah suaminya yang tercinta. Mereka pergi bersama. Beberapa hari dan malam di laut antara pelabuhan yang ditinggalkan dan yang dituju. Kian dekat, hati Amat kian berdebar-kebar. Bagaimanakah nasib ibunya setelah dua puluh tahun ditinggalkan. Adakah perubahan-perubahan di pelabuhan dan kampungnya? Masih adakah orang yang mengenalnya, dalam pakaian dan tugasnya di kapal itu sebagi nakhoda?. Semua yang dirisaukan Amat tidak akan terjawab sebelum sampai di tempat yang dituju. Hanya hatinya yang semakin berdebar-debar, seirama dengan semakin dekat dan jelasnya daratan. Jangkar dibuang, kapal berlabuh agak jauh dari dermaga. Mata Amat nyalang ke tempat sekitar. Perahu-perahu masih seperti dahulu, mundar mandir mengitari kapal. Di sana-sini di daratan tidak banyak perubahan. Bangunan lama bertambah tua. Ada beberapa bangunan baru. Tetapi belum dapat menandai seorangpun diantara mereka di pelabuhan. Pak Agam yang dulu belum terlihat oleh Amat. Apakah masih bekerja di pelabuhan ataukah sudah berhenti karena tuanya. Amat masih dapat menandai tempat terakhir bersama ibunya dan Pak Agam di pelabuhan itu dulu. Semuanya terbayang kembali dengan jelas di benak Amat. Seakan-akan kejadian dua puluh tahun yang lalu, saat-saat ia meninggalkan pelabuhan pergi merantau, baru kemarin terjadi. “Hei, abang Amat! ” tiba-tiba teriak seseorang dari perahu disamping kapal sambil melambaikan tangan. Amat terkejut mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dengan sikap menyelidiki siapa orang itu. “Abang pulang, ya. Aku Agam Puteh,” teriaknya lagi dalam bahasa Aceh. Amat cepat ingat nama itu, lalu ia pun membalas dengan lambaian tanggan sambil tertawa riang. “Naiklah ke kapal Agam!” “Nanti saja bang. Kapalmu merapat dulu, Aku sedang sibuk!” Dengan melambaikan tangan kembali Agam Puteh meninggalkan tempat itu kecelah-celah kapal yang lain.

Amat mengagumi ingatan Agam Puteh yang demikian kuat. Amatpun ingat kembali masa kanak-kanaknya dulu. Agam Puteh anak pamannya. Dulu lebih kecil dan lebih muda sedikit dari padanya. Dipanggil demikian karena kulitnya memang sedikit lebih putih dari kawan-kawannya yang sebaya.

Melalui Agam Puteh, kemudian dari seorang ke seorang tersebar kabar sampai ke kampung Pasie, bahwa Amat sudah kembali. Kabar itu segera pula sampai ke telinga ibunya. Tak dapat dilukiskan betapa gembiranya ibu tersebut. Seakan-akan sudah kembali semua semangatnya, terobat pulih kembali semua penderitaan selama ditinggalkan Amat buah hatinya. Tak sabar ibu itu menunggu, ingin segera memeluk anaknya. Tak - banyak ia berharap, kecuali agar Amat segeTa kembali kepangkuannya. Amat, anaknya yang dahulu pergi merantau ke negeri orang, kini telah kembali. Dengan kelesuan tubuhnya karena tua, tertatih-tatih ibu itu berusaha berjalan ke pelabuhan. Di tengah perjalanan ia banyak bertemu dengan orang-orang dari pelabuhan. Hampir semua mereka meneriakan sambil jalan: “Bu ! Amat sudah pulang.” Hanya dibalas oleh ibu itu dengan senyum bahagia dengan mulutnya yang sudah keriput.
Kapal merapat. Amat mendahului turun ke dermaga menandakan ia tidak asing di daerah itu. Tujuannya yang utama ke kantor Mungkin akan menanyakan hal ibunya. Hiruk pikuk di sekitarnya tidak dihiraukannya. Tiba-tiba: “Abang Amat!” teriakan kedua kalinya menyebut namanya. Amat menatap ke depan, Beberapa langkah di hadapan Amat, kelihatan Agam Puteh bersama seorang perempuan tua. Ditelitinya perempuan tua itu dari kepala sampai ke kaki. Rambutnya ubanan, wajahnya keriput, matanya keputih-putihan, kelihatannya sudah agak rabun, sudut-sudut mulutnya merah lelehan sirih yang dikunyah, pakaiannya compang-camping, badannya bungkuk, bertekenan pada sebuah tongkat.

“Abang Amat, inilah ibumu,” kata Agam Putih dengan suara lembut seakan-akan memperkenalkan. ” Anakku!!” sambung ibu itu sambil mengulurkan tangan kanannya memeluk Amat. Dalam hati Amat menyadari benar-benar ia sedang berhadapan dengan ibunya sendiri. Amat menoleh sejenak ke kapal dan sekitarnya. Dilihatnya isterinya sedang datang mendekat. Awak-awak kapal dan sebahagjan besar orang-orang dipelabuhan mengarahkan pandangan ke tempat ketiga itu. Tiba-tiba seperti halilintar disiang bolong Amat berteriak keras-keras ‘Tidak, tidak! Ini bukan ibuku!” “Akulah ibumu, nak!. Ibu merasa gembira dan bahagia sekali, engkau kembaü. Peluklah aku nak!” ‘Tidak! Engkau bukan ibuku, engkau adalah pengemis tengik dan busuk Ibuku tidak begini rupanya! Kiranya Amat enggan dan mungkir mengakui perempuan tua itu ibunya, karena takut dicemoohkan oleh isterinya dan anak buahnya di kapal. Pada pikiran Amat, kalau mereka tahu ini ibunya, tentu mereka akan mengatakan bahwa Tuan Amat yang kaya raya itu adalah sebenarnya keturunan rakyat jelata yang melarat, tidak pantas memperisterikan seorang nerempuan turunan bangsawan. Karena itu Amat mengingkari kenyataan yang sebenarnya. “Anakku, akulah ibumu nak, Akulah yang melahirkanmu. Air susu ibu inilah yang membesarkanmu. Marilah kita pulang ke rumah, nak!” “Barangkali benar pengakuan orang tua ini, bang!” kata isterinya. “Memang benar, inilah ibumu, bang Amat! Keadaannya memang sudah banyak berubah, sudah sangat tua setelah berpuluh tahun kau tinggalkan. Aku tahu sekali, bang!” kata Agam Puteh menambahkan. “Ah, tidak! Ini bukan ibuku. Ini pengemis tua yang tidak tahu malu Pergi, pergi dari sini ” Amat menuding. “Anakku,” ibunya mendekat maju ingin meraih Amat. ‘Tidak! Jangan dekati aku. Aku nakhoda baru datang ke mari.”  “Anakku, aku ibumu nak. Suaramu masih dapat kutandai. Suara Amat, anakku!” Ibu itu maju mendekat terus mengulurkan tangan seakanakan meraba-raba hendak menjamah wajah anaknya. “Hai bedebah!” Amat menendang perempuan tua ini sampai jatuh terjungkir. Tongkatnya terpelanting. Amat sendiri menarik tangan isterinya lari dan naik ke kapal. Serta Amat memanggil semua awak kapalnya. Berteriak memberi perintah supaya kapalnya segera berlayar meninggalkan pelabuhan itu. Ibu itu dengan susah payah berusaha bangun dan duduk bersimpuh. Lalu menadahkan tangan, dan mengadahkan muka ke langit, berdoa:

“Ya Tuhanku, aku yakin dia adalah anakku. Aku bermohon kepadaMu, berilah kesadaran yang sebenarnya kepadanya!” Tuhan adil. Selesai berdoa, tiba-tiba saja turunlah badai, hujan sangat lebat disertai angin kencang. Semuanya jadi panik mencari tempat berlindung. Kapal-kapal seperti sabut, terombang-ambing kesana kemari dihempaskan ombak sebesar gunung. Tak dapat mata jauh memandang. Alam sekitar keputih-putihan diliputi kabut dan hujan. Badai mengamuk sejadi-jadinya tujuh hari tujuh malam terus menerus. Ditengah-tengah desauan angin dan deraian lebatnya hujan, dari arah Laut sayup-sayup kedengaran teriakan pilu: “Ibu , Ibu ! Aku anakmu, ibu! “Maafkan aku ibu Ibu !”.. sekali didengarnya. Lalu berderailah air matanya selebat-lebatnya seperti lebatnya hujan yang turun waktu itu. Ibu itu menyesali sikap anaknya yang demikian angkuh. Sia-sialah segala jerih payahnya mengasuh, memelihara dan membesarkannya. Sia-sia pulah segala pengajiannya dahulu. Ia ingkar kepada pengajaran Tuhan dalam Agama Maka Tuhan menurunkan laknat kepadanya. Teriakan itu didengar perempuan tua itu berkali-kali. Kemudian hilang ditelan deru hujan angin dan ombak. Hujan reda. Laut tenang kembali air Krueng Raya’ bertambah besar. Dimana-mana kelihatan air tergenang dan melimpah ruah. Angin berhenti di Udara cerah sejauh mata memandang. Tidak jauh dari dermagga diantara pecahan ombak tersebut sebuah batu sebesar kapal. Itulah kapal Amat Rhang Manyang, Kapal Amat Yang Durhaka berserta awak kapal dan isinya. Tuhan’ sudah menurunkan mala petaka kepada Amat, bukan sekedar menjadikannya batu, bahkan selama air laut tidak kering Amat Rhang Manyang tetap terendam dan dihempas-hempiskan’ oleh ombak, yang merupakan siksaan sepanjang masa.

http://www.fiksi.kompasiana.com/