Mesjid Raya Baiturrahman Aceh/Tempo Dulu |
Mesjid Raya Baiturrahman Aceh |
Masjid Baiturrahman memiliki sejarah panjang. Memahami dengan baik sejarah masjid ini, berarti telah memahami sebagian sejarah perjalanan orang-orang Aceh.
Menurut riwayat, Masjid Baiturrahman dibangun ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Namun, masjid ini terbakar di masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678 M). Sebagai gantinya, kemudian dibangun masjid baru di lokasi yang sama.
Di era penjajahan kolonial Belanda, disamping berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berfungsi sebagai markas pertahanan rakyat Aceh dalam melawan kolonial Belanda. Fungsi masjid raya sebagai pusat perlawanan sangat jelas terutama di masa Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874 M). Ketika itu, Masjid Raya sering digunakan sebagai tempat musayawarah dalam menyusun strategi melawan Belanda.
Sebagai pusat perlawanan, maka, tak heran masjid ini selalu menjadi sasaran serangan Belanda. Pada 10 April 1873 M, masjid ini direbut oleh Belanda dan sebagian bangunannya mereka bakar. Pada 14 April 1873 M, kembali terjadi pertempuran sengit dan Masjid Raya berhasil direbut kembali oleh rakyat Aceh. Dalam pertempuran tersebut, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler ikut terbunuh bersama lebih 400 ratus pasukannya.
Akibat kekalahan tersebut, Belanda kemudian menyiapkan pasukan yang jauh lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. Pada 6 Januari 1874 M, kembali terjadi pertempuran sengit. Walaupun telah dipertahankan mati-matian, namun, akhirnya rakyat Aceh kalah dan masjid direbut oleh Belanda. Ternyata, Belanda tidak hanya merebut masjid, tapi juga membakarnya hingga rata dengan tanah, sehingga menambah kemarahan rakyat Aceh. Untuk membujuk dan meluluhkan hati rakyat Aceh yang marah pada kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Belanda, J. W. van Lansberge kemudian mengunjungi Aceh dan berjanji pada orang Aceh untuk membangun kembali sebuah masjid agung yang baru, pengganti masjid yang telah terbakar.
Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan pada 9 Oktober 1879 M oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembagunan masjid selesai dan secara resmi dibuka pada 27 Desember 1881 M.
2. Lokasi
Masjid Raya Baiturrahman terletak di tengah kota Banda Aceh. Dulu, kota ini bernama Kuta Raja.
3. Luas
Masjid Baiturrahman mampu menampung 1900 jamaah shalat.
4. Arsitektur
Arsitektur masjid bercorak eklektik, yaitu suatu rancangan yang dihasilkan dari gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri, sehingga bangunan masjid menjadi begitu megah dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, masjid ini diposisikan di tengah lapangan yang luas terbuka, sehingga semua bagian masjid bisa terlihat dengan jelas dari kejauhan.
Bagian pertama masjid adalah gerbang, posisinya menempel dengan unit utama. Setelah gerbang terdapat porch yang berbentuk segi empat panjang. Bagian depan, kiri dan kanan porch dikelilingi oleh tangga yang membentuk huruf U. Pada ujung tangga depan, terdapat tiga bukaan (jendela tanpa pintu) yang dibentuk oleh empat kolom (tiang) langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di masjid-masjid Afrika Utara dan Spanyol. Antara kolom satu dengan lainnya dihubungkan dengan plengkung patah model Persia. Karena ada empat kolom, maka berarti terdapat tiga plengkung. Pada bagian atas dan sisi plengkung terdapat hiasan relief lengkung-legkung seperti corak Arabesque. Di atas ketiga plengkung ini, terdapat semacam tympanum yang berbentuk jenjang seperti penampang sebuah tangga. Corak ini merupakan model khas rumah klasik Belanda. Pada setiap jenjang dihias dengan miniatur sebuah gardu atau cungkup, yang dihiasi kubah bawang pada bagian puncaknya. Corak ini menunjukkan adanya pengaruh India. Jadi, dari bagian luar saja, sudah begitu jelas nuansa ekletik Masjid Raya ini. Sisi kiri dan kanan porch mempunyai dua kolom yang dihubungkan oleh satu plengkung, dekorasinya sama dengan porch bagian depan.
Setelah melewati porch, kemudian masuk ke ruang utama masjid yang digunakan untuk shalat. Namun, sebelum masuk ke ruang utama ini, terdapat lagi plengkung dan kolom yang sama dengan bagian depan. Plengkung tersebut tanpa pintu, seperti kebanyakan masjid kuno di India. Bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi oleh kubah utama yang indah dan megah bercorak bawang, pucuknya dihiasi cunduk, seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi delapan, pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela, ambangnya plengkung patah. Pada bagian bawah terdapat tritisan berdenah segi delapan. Pada bagian kiri dan kanan ruang shalat utama ini, terdapat unit sayap kembar, sehingga bangunan ini menjadi simetris. Atap masjid berbentuk limasan berlapis dua. Pada jendela yag terdapat di masjid ini, tampak sekali pengaruh Moorish, terutama dari hiasan yang bercorak intricate.
5. Perencana
Arsitek yang merancang Masjid Raya Baiturrahman adalah seorang kapten zeni angkatan darat Belanda, de Bruijn. Untuk menentukan arsitektur masjid, ia berkonsultasi terlebih dulu dengan Snouck Hurgronje dan penghulu masjid Bandung.
6. Renovasi
Sebagaimana diceritakan di atas, Masjid Raya telah beberapa kali mengalami pembangunan kembali akibat terbakar ataupun dibakar Belanda. Masjid yang berdiri sekarang merupakan masjid yang dibangun Belanda, pengganti dari masjid raya yang telah mereka bakar dalam peperangan menaklukkan Aceh.
Masjid Raya yag dibangun Belanda ini, juga telah direnovasi beberapa kali. Antara tahun 1935 dan 1936 M, sayap kiri dan kanan atapnya ditambah dengan kubah, sehingga jumlahnya menjadi tiga.
Kemudian, pada tahun 1957, ada penambahan dua unit kembar, posisinya di ujung kiri (utara) dan kanan (selatan) dari sayap, masing-masing memiliki satu kubah. Dengan penambahan ini, jumlah kubah menjadi lima, sesuai dengan Pancasila. Namun, jika dilihat dari depan, konstruksi masjid masih tetap simetris.
Selanjutnya, juga dibuat dua buah minaret pada sudut barat-utara dan barat-selatan. Penampang minaret bersegi delapan, dengan bentuk atap sama dengan kubah utama di depan. Namun, satu catatan, penambahan ini tetap mengacu pada elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya di masjid ini, sehingga keaslian masjid tetap terjaga.
Di akhir tahun 1980-an, Masjid Baiturrahman direnovasi. Kemudian, pasca tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2005, masjid ini kembali direnovasi karena mengalami kerusakan, walaupun tidak terlalu parah.
www.historyofaceh.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar