PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.
Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.
Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.
Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.
Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.
Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:
Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya
Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera
Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya
Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.
Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.
Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.
Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.
Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.
Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.
Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.
Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.
Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.
Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.
Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.
Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.
Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.
Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.
Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.
Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.
Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.
Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan
Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.
Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.
Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.
Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.
Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.
Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.
Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.
Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bungeh
PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.
Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.
Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.
Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.
Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.
Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:
Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya
Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera
Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya
Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.
Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.
Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.
Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.
Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.
Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.
Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.
Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.
Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.
Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.
Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.
Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.
Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.
Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.
Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.
Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.
Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.
Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan
Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.
Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.
Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.
Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.
Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.
Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.
Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.
Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bunge.
www.acehkreasi.blogspot.com
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.
Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.
Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.
Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.
Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.
Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:
Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya
Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera
Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya
Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.
Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.
Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.
Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.
Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.
Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.
Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.
Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.
Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.
Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.
Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.
Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.
Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.
Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.
Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.
Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.
Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.
Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan
Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.
Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.
Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.
Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.
Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.
Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.
Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.
Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bungeh
PUTROE BUNGSU
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara (1961) H M Zainuddin menyebutkan sebuah dongengan (mythe) penduduk Peureulak yang mengisahkan tentang Putri Nurul ‘Ala di Peureulak.
Dulu diriwayatkan, di Sungai Peuleukak dekat Blang Perak, Krueng Tuan dan Krueng Seumanah ada seorang raja yang belum mempunyai anak. Raja itu bernazar bila memperoleh seorang anak baik putri maupun putra akan dibawanya ke Kuala Peureulak untuk dimandikan dengan air laut.
Tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan dua orang anak putra dan putri. Yang putri diberi nama Nurul ‘Ala. Setelah puteranya besar Radja Peureulak bermaksud melepaskan nazarnya itu. Sesudah siap semua perbekalan lalu menghilir ke Kuala Peureulak. Sesampainya di Kuala Peureulak ia berhenti di muara untuk membuat rakit. Di atas rakit itulah anak raja itu dimandikan.
Ketika sedang dimandikan tiba-tiba datang seekor hiu menerkamnya. Anak raja itu dibawa ke tengah laut. Raja dan pengikutnya ketakutan mereka naik kembali ke darat dan pulang ke Sungai Peureulak. Raja Peureulak kemudian memanggil nujum (orang pandai-red) untuk keumalon (meramal-red) kemana hiu menbawa anak itu.
Menurut ramalan nujum tersebut anak raja itu masih hidup, karena diselamatkan oleh seorang nakhoda. Nujum itu berkata agar raja itu tidak gelisah karena bila Putri Nurul ‘Ala sudah besar ia harus menebang pohon peureulak disamping Peunaron untuk dibuatkan bahtera. Dengan bahtera itu ia nanti bisa menjemput abangnya untuk dibawa pulang.
Inang pengasuh Putri Nurul ‘Ala pun mengasuhnya dengan suka cita. Ketika menina bobok sang putri ia menciptakan syair:
Alai hai do doda idang
Rangkang di blang tameh bangka
Beurijang rayeuk putroe seudang
Tajak teubang peurlak raya
Alai hai do doda idang
Cicem subang jiphe meugisa
Ngon tee rayeuk bungoeng keumang
Kayee disimpang peuget keu bechtera
Jak kutimang bungong meurak
Kayee sibak di leuen istana
Beurijang rayeuk puteh meuprak
Beukeut tamat beuliong raya
Jak kutimang bungong langsat,
bee jih mangat bungong langa,
beuridjang rayeuk puteh lumat,
bak jeuet tamat keumudue bechtra.
Allah hai do doda idi,
anoe pasi riyeuk tampa,
beurijang rayeuk cut putehdi,
gantoe abi adoen ta mita.
Allah hai do doda idang,
bungoeng mancang rhot meukeuba,
bak rijang rajeuk bungong keumang,
jak tueng abang di Djayakarta.
Jak kutimang bungong sukon,
bak sitahon boh hantomna,
beurijang rayeuk puteh sabon,
beu-ek tapeutron bechtra raya.
Bukon sayang lon eu simplah,
lam geu keubah soe ngui hana,
bukon sayang lon eu nang mah,
dalam sosah ingat keubanta.
Bukan sayang lon eu peutoe,
peunoh asoe meuih permata,
bukan sajang lon eu putroe,
da wok geumue ro ie mata.
Artinya:
Mari kuayun kubuaikan,
Dangau di sawah tiang bangka;
Lekaslah besar putri sedang,
Pergilah tebang peureulak raya.
Mari kubuai dan kudendang,
Unggas subang terbang berkisar.
jikalah besar bunga kembang,
Kayu disimpang buatkan bahtera.
Kembang merak mari kutimang,
Kaju sebatang muka istana,
Lekaslah besar putih cemerlang,
Sanggup memegang beliung raja.
Mari kutimang bunga langsat,
Bau yang sedap bunga kenanga.
Lekaslah besar putih-lumat,
cakap memegang kemudi bahtera.
Allah hai putri mari kubuai,
Pasir dipantai riak menimpa.
Lekas remaja cut putihdi,
Pengganti Ayah cari kakanda.
Allah hai putri mari kutimbang,
Bunga macang gugur merata.
Lekaslah besar wahai kembang,
Jemput abang di Djayakatera.
Mari kupangku bunga sukun,
Pohon sitaloh buah tak ada,
Lekaslah besar putih sabun,
Sanggup menurun bahtera raya.
Saja terharu memandang simplah
Tersimpan indah yang pakai tak ada,
Alangkah sayang bunda dan ayah,
Dalam susah mengenang banta.
Sedih hatiku melihat peti,
Penuh berisi intan permata,
Sajang sekali permaisuri,
Lalai berurai air mata.
Setiap hari inang pengasuh membuai Putri Nurul ‘Ala dengan syair tersebut untuk menumbuhkan semangatnya. Setelah ia besar, Putri Nurul ‘Ala ingat akan dendang itu, maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk menebang pohon peureulak di simpang Sungai Peunaron untuk dibuat bahtera. Permintaan itu dikabulkan.
Setelah bahtera siap dikumpulkan masyarakat untuk menarik bahtera itu ke sungai. Berulang kali ditarik behtera itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Putri Nurul ‘Ala jadi sedih. Pada suatu malam ia bermimpi agar bahtera itu bisa diturunkan ke sungai, ia harus membalut keponakannya Putri Nurkadimah dengan kain putih dan diletakkan sebagai bantalan bahtera itu. Sesudah Puteri Nurkadimah diletakkan dibawah bahtera itu, diambil sehelai rambutnja diikatkan pada bahtera untuk mendjadi tali penarik bahtera itu. Kalau tidak maka bahtera itu tidak bisa ditarik ke sungai.
Mendapat mimpi seperti itu membuat Putri Nurul ‘Ala bertambah susah. Karna tak mungkin Putri Nurkadimah mau menjadi bantalan bahtera. Mengetahui hal itu Putri Nurkadimah pun dengan suka rela menjadi bantalan. Setelah bermusyawarah dengan berbagai pertimbagan akhirnya diputuskan
Puteri Nurkadimah dibawa ketempat bahtera itu. Badannya diselimuti dengan kain putih, lalu diletakkan pada hulu bahtera itu. Setelah siap orang-orang menolak bahtera, sementara Putri Nurul ‘Ala memegang rambut Putri Nurkadimah untuk menarik bahtera, bahtera itupun bergerak dan ¬terjun ke sungai. Orang-orang tercengang apalagi ketika melihat Putri Nurkadimah tidak apa-apa.
Bahtera itu pun kemudian hanyut ke hilir sampai ke Gunung Beseleh sampai ke ketempat Raja Peureulak. Dari sana ia menyusul suadaranya yang diambil hiu yang dinamai Banta Eungkotba. Ia berangkat bersama beberapa orang pengiring ke Djayakarta.
Sampai di sana, begitu raja setempat mengetahui ada sebuah bahtera yang didalamnya ada seorang putrid cantik, maka dilakukanlah penyerangan. Perang pun terjadi. Karena jumlahnya kecil, kelompok Putri Nurul ‘Ala kalah, ia mengambil cincin peninggalan abangnya, Banta Eungkotba dibungkusnya cicncin itu dengan kain lalu ditembakkan ke darat dengan meriam.
Bungkusan itu jatuh ke depan raja Djayakarta yang sedang duduk bersama bala tentaranya. Bungkusan itu pun dibuka, begitu melihat cincin tersebut, ia pun terkenang akan Putri Nurul ‘Ala adiknya. Raja itu kemudian pergi sendiri ke laut dan menyidik asal usul putrit dalam bahtera itu. Diketahuilah ternyata Putri Nurul ‘Ala itu adalah adiknya.
Mereka kemudian tinggal bersama, tapi karena teringat akan kampung halaman mereka pulang ke Peureulak untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sebelum pulang, Putri Nurul ‘Ala dipinang oleh Berbu Tapa, seorang pemimpin disana. Bila tidak mau menikah dengan Berbu Tapa maka akan diperangi. Putri Nurul ‘Ala menerima pinangan itu, tapi syaratnya ia harus kembali ke Peureulak terlebih dahulu.
Syarat itu diterima Berbu Tapa, malah ia juga ikut pergi ke Peureulak. Sampai di Sungai Peureulak Berbu Tapa disuruh tinggal di kampung Tjek Brek, sementara Putri Nurul ‘Ala tinggal di Paya Meuligoe. Beberapa lama tinggal di sana, Berbu Tapa mendesak Putri Nurul ‘Ala untuk segera menikah dengannya, tapi Putri Nurul ‘Ala meminta waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.
Ternyata ia bukan mempersiapkan diri untuk menikah dengan Berbu Tapa, sebaliknya mempersiapkan perbekalan untuk berperang dengannya. Sementara Banta Eungkotba tak lama sampai di Peureulak meninggal. Ia dikuburkan di Bukit Alue Meuih, Ranto Panyang, kuburan itu dikenal dengan nama Teungku Di Gudam.
Setelah saudaranya meninggal, Putri Nurul ‘Ala jadi takut untuk menyeran Berbu Tapa. Ia kemudian lari ke hulu sungai dekat Simpang Peunaron di Blang Perak. Berbu Tapa jadi berang, ia pun memburu Putri Nurul ‘Ala. Mengathaui ia diburu Putri Nurul ‘Ala lari lagi ke hulu Krueng Peunaron, Lubok Pancaningan dan meninggal di tempat itu. Karena marah tidak mendapatkan Putri Nurul ‘Ala, Berbu Tapa jadi berang. Ia mengamuk di Kampung Beuringen. Banyak orang dibunuhnya di kampung itu. Kampung itu pun kemudian dinamai Kampung Teungku Di Bunge.
www.acehkreasi.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar