MASIH berada di kompleks pasar Ulee Kareng, Banda Aceh, bertebaran kedai-kedai kopi. Salah satunya kedai kopi itu membawa bendera “Kopi Solong Ulee Kareng Jasa Ayah”.
Memasuki kedai ini terlihat puluhan orang santai, ngobrol ke sana kemari. Belasan meja yang ada di kedai itu telah dipenuhi pengunjung. Semuanya memiliki satu tujuan: ngopi!
Terlihat hanya secangkir kopi dan segelintir kue yang menemani mereka. Namun pengunjung terus mengalir seolah tanpa henti. Santai di kedai kopi sambil mengisap rokok dalam-dalam, ciri khas yang tak lepas dari sebuah kedai.
Entah apa yang mereka diskusikan di meja kopi itu, mungkin soal bagaimana me-recovery Aceh pascabencana, mungkin juga soal pengalaman para relawan yang baru pertama kali mengevakuasi mayat, bisa juga soal sepele masalah pribadi. Semua bisa diobrolkan di arena demokratis ini.
Suasana kedai itu begitu ramai, seolah tak terjadi apa-apa di Banda Aceh. Dengan Rp 1.500 per cangkir, semua bisa kembali ke kedai kopi, bergembira sambil berjumpa kawan yang ternyata masih selamat dari bencana tsunami.
Persepsi bahwa Banda Aceh menjadi kota mati, lambat laun beranjak pulih. Banda Aceh, melalui kedai-kedai kopi khasnya, mulai menggeliat dan itu berarti pertanda kehidupan mulai normal. Begitu kira-kira analisis situasi saat ini.
Para pegawai kedai mulai disibukkan dengan pesanan pelanggan. Bahkan menurut mereka pascabencana ini suasana kedai semakin ramai. “Sekarang banyak pendatang terutama dari para relawan,” kata Lemi, penjaga kedai.
Kopi solong di pojok pasar Ulee Kareng itu kini kembali hidup dan menjadi bagian dari denyut nadi Aceh. Dibalik kepulan asap kopi solong yang aromanya menggoda selera itu terbayang harapan hidup pencinta kopi, tergambar pula bangkitnya ekonomi kerakyatan pembuatan kopi.
ADALAH keluarga Haji Muhammad Kasaman yang merintis kedai kopi “Jasa Ayah” itu sejak zaman pendudukan Jepang. Kini usaha itu ditangani anak-anak Kasaman, di antaranya Haji Nawawi sebagai manajer kedai dan Hasballah sebagai manajer produksi.
Kopi solong berasal dari biji kopi jenis robusta yang didatangkan dari Lamno Aceh Jaya. Kompas sempat menyaksikan pembuatan kopi solong yang ter masyhur itu. Pembuatan kopi di pabriknya itu bukan dilakukan puluhan atau ratusan pegawai dengan seperangkat mesin-mesin penumbuknya.
“Hanya saya yang membuatnya dengan dibantu seorang pegawai,” kata Hasballah yang ditemani pegawainya, Ilham. Bisnis selera memang tidak bisa sembarangan diserahkan kepada orang lain.
“Saya harus menjaga kualitas kopi solong agar para pelanggan tidak protes, sedikit saja saya salah memprosesnya pelanggan pasti protes,” kata Hasballah. Hasballah sadar, bisnis kedai sangat bergantung pada keahlian membuat kopi.
Karena itu, sejak meracik “bumbu” kopi, menuangkan kopi mentah ke dalam molen penggorengan, mengeluarkan kopi masak dari molen, dan kemudian mengangin-anginkan kopi matang yang masih panas, semua dikontrol penuh.
Hasballah membeberkan salah satu rahasia bumbu kopi solong, yaitu dengan menambahkannya tiga kilogram gula pasir dan satu kilogram mentega dalam 40 kilogram kopi mentah.
Hanya itu saja bumbunya? “Sumpah hanya itu saja, dijamin 100 persen murni kopi dan tidak ada daun ganja di dalamnya ha-ha-ha,” kata Hasballah sambil tertawa lebar.
Inti rasa dari kopi solong bukanlah pada campurannya tapi lebih pada ketepatan menggoreng. “Menggoreng itu tidak mudah, butuh kesabaran dan ketekunan. Jika tak sabar kopi akan gosong dan tidak enak diminum,” kata Hasballah.
Karena itu, Hasballah mengaku hanya bekerja ketika kondisi badan sedang sehat. “Kalau saya merasa malas atau badan kurang sehat saya memilih istirahat saja demi menjaga kualitas kopi solong,” katanya.
Tiap hari Hasballah harus bangun pagi untuk menggoreng kopi. Dalam dua hari sekali, Hasballah harus bekerja untuk menghasilkan sekitar 250 kilogram kopi masak yang dibuatnya dalam empat kali masak.
Namun, pascatsunami ini justru permintaan meningkat. Hasballah harus bekerja tiap hari untuk memenuhi permintaan. “Sekarang ini dalam sehari kedai kami bisa menjual sampai 3.000 gelas, hari normal hanya 2.000 sampai 2.500 gelas,” kata Lemi, penjaga kedai yang juga cucu pendiri kedai.
Jumlah itu hanya dari penjualan per gelas yang dijual Rp 1.500 per gelasnya, belum lagi penjualan bubuk kopi jadi yang dijual Rp 32.000 per kilogram. “Kami hanya menjual bubuk kopi kepada pelanggan sebagai oleh-oleh, kami tidak menjual bubuk kopi ini ke warung atau ke kedai lain,” kata Hasballah.
Tiap hari kedai itu bisa menjual hingga 50 kilogram bubuk kopi kepada pelanggan. Hasballah mengakui, justru pascabencana itu para penikmat kopi semakin bertambah banyak terutama dengan banyaknya relawan yang datang ke Aceh.
“Kami memang kehilangan ratusan pelanggan setia akibat tsunami, tapi sekarang kedai kami kembali ramai karena banyak tamu dari luar,” kata Lemi. Di balik setiap musibah, selalu saja ada hikmah dan kopi solong telah siap menemani bangkitnya Aceh pascatsunami. Tapi dengan syarat, usai puas ngopi, mari bersama-sama membersihkan puing tsunami itu
www.kopiuleekareng.blogspot.com
Memasuki kedai ini terlihat puluhan orang santai, ngobrol ke sana kemari. Belasan meja yang ada di kedai itu telah dipenuhi pengunjung. Semuanya memiliki satu tujuan: ngopi!
Terlihat hanya secangkir kopi dan segelintir kue yang menemani mereka. Namun pengunjung terus mengalir seolah tanpa henti. Santai di kedai kopi sambil mengisap rokok dalam-dalam, ciri khas yang tak lepas dari sebuah kedai.
Entah apa yang mereka diskusikan di meja kopi itu, mungkin soal bagaimana me-recovery Aceh pascabencana, mungkin juga soal pengalaman para relawan yang baru pertama kali mengevakuasi mayat, bisa juga soal sepele masalah pribadi. Semua bisa diobrolkan di arena demokratis ini.
Suasana kedai itu begitu ramai, seolah tak terjadi apa-apa di Banda Aceh. Dengan Rp 1.500 per cangkir, semua bisa kembali ke kedai kopi, bergembira sambil berjumpa kawan yang ternyata masih selamat dari bencana tsunami.
Persepsi bahwa Banda Aceh menjadi kota mati, lambat laun beranjak pulih. Banda Aceh, melalui kedai-kedai kopi khasnya, mulai menggeliat dan itu berarti pertanda kehidupan mulai normal. Begitu kira-kira analisis situasi saat ini.
Para pegawai kedai mulai disibukkan dengan pesanan pelanggan. Bahkan menurut mereka pascabencana ini suasana kedai semakin ramai. “Sekarang banyak pendatang terutama dari para relawan,” kata Lemi, penjaga kedai.
Kopi solong di pojok pasar Ulee Kareng itu kini kembali hidup dan menjadi bagian dari denyut nadi Aceh. Dibalik kepulan asap kopi solong yang aromanya menggoda selera itu terbayang harapan hidup pencinta kopi, tergambar pula bangkitnya ekonomi kerakyatan pembuatan kopi.
ADALAH keluarga Haji Muhammad Kasaman yang merintis kedai kopi “Jasa Ayah” itu sejak zaman pendudukan Jepang. Kini usaha itu ditangani anak-anak Kasaman, di antaranya Haji Nawawi sebagai manajer kedai dan Hasballah sebagai manajer produksi.
Kopi solong berasal dari biji kopi jenis robusta yang didatangkan dari Lamno Aceh Jaya. Kompas sempat menyaksikan pembuatan kopi solong yang ter masyhur itu. Pembuatan kopi di pabriknya itu bukan dilakukan puluhan atau ratusan pegawai dengan seperangkat mesin-mesin penumbuknya.
“Hanya saya yang membuatnya dengan dibantu seorang pegawai,” kata Hasballah yang ditemani pegawainya, Ilham. Bisnis selera memang tidak bisa sembarangan diserahkan kepada orang lain.
“Saya harus menjaga kualitas kopi solong agar para pelanggan tidak protes, sedikit saja saya salah memprosesnya pelanggan pasti protes,” kata Hasballah. Hasballah sadar, bisnis kedai sangat bergantung pada keahlian membuat kopi.
Karena itu, sejak meracik “bumbu” kopi, menuangkan kopi mentah ke dalam molen penggorengan, mengeluarkan kopi masak dari molen, dan kemudian mengangin-anginkan kopi matang yang masih panas, semua dikontrol penuh.
Hasballah membeberkan salah satu rahasia bumbu kopi solong, yaitu dengan menambahkannya tiga kilogram gula pasir dan satu kilogram mentega dalam 40 kilogram kopi mentah.
Hanya itu saja bumbunya? “Sumpah hanya itu saja, dijamin 100 persen murni kopi dan tidak ada daun ganja di dalamnya ha-ha-ha,” kata Hasballah sambil tertawa lebar.
Inti rasa dari kopi solong bukanlah pada campurannya tapi lebih pada ketepatan menggoreng. “Menggoreng itu tidak mudah, butuh kesabaran dan ketekunan. Jika tak sabar kopi akan gosong dan tidak enak diminum,” kata Hasballah.
Karena itu, Hasballah mengaku hanya bekerja ketika kondisi badan sedang sehat. “Kalau saya merasa malas atau badan kurang sehat saya memilih istirahat saja demi menjaga kualitas kopi solong,” katanya.
Tiap hari Hasballah harus bangun pagi untuk menggoreng kopi. Dalam dua hari sekali, Hasballah harus bekerja untuk menghasilkan sekitar 250 kilogram kopi masak yang dibuatnya dalam empat kali masak.
Namun, pascatsunami ini justru permintaan meningkat. Hasballah harus bekerja tiap hari untuk memenuhi permintaan. “Sekarang ini dalam sehari kedai kami bisa menjual sampai 3.000 gelas, hari normal hanya 2.000 sampai 2.500 gelas,” kata Lemi, penjaga kedai yang juga cucu pendiri kedai.
Jumlah itu hanya dari penjualan per gelas yang dijual Rp 1.500 per gelasnya, belum lagi penjualan bubuk kopi jadi yang dijual Rp 32.000 per kilogram. “Kami hanya menjual bubuk kopi kepada pelanggan sebagai oleh-oleh, kami tidak menjual bubuk kopi ini ke warung atau ke kedai lain,” kata Hasballah.
Tiap hari kedai itu bisa menjual hingga 50 kilogram bubuk kopi kepada pelanggan. Hasballah mengakui, justru pascabencana itu para penikmat kopi semakin bertambah banyak terutama dengan banyaknya relawan yang datang ke Aceh.
“Kami memang kehilangan ratusan pelanggan setia akibat tsunami, tapi sekarang kedai kami kembali ramai karena banyak tamu dari luar,” kata Lemi. Di balik setiap musibah, selalu saja ada hikmah dan kopi solong telah siap menemani bangkitnya Aceh pascatsunami. Tapi dengan syarat, usai puas ngopi, mari bersama-sama membersihkan puing tsunami itu
www.kopiuleekareng.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar